Jumat, 26 September 2025

Revisi KUHAP

Komisi III DPR Bakal Undang KPK, Habiburokhman Tegaskan RUU KUHAP Tak Lemahkan Pemberantasan Korupsi

Komisi III DPR RI memastikan akan memanggil KPK untuk membahas sejumlah isu krusial dalam draf RUU KUHAP. Pastikan tak lemahkan pemberantasan korupsi

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Fersianus Waku
REVISI KUHAP - Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman di Jakarta belum lama ini. Ia memastikan RUU KUHAP tak lemahkan pemberantasan korupsi. 

"Agenda tersebut akan dilaksanakan pada masa persidangan mendatang, sebelum dilanjutkannya kerja tim perumus dan tim sinkronisasi," ucap Habiburokhman.

KPK melayangkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan DPR untuk meminta audiensi terkait pembahasan RUU KUHAP.

Langkah itu diambil sebagai respons atas kekhawatiran lembaga antirasuah terhadap sejumlah pasal dalam draf RUU KUHAP yang dinilai berpotensi mengurangi kewenangan khusus KPK dalam pemberantasan korupsi.

Kekhawatiran utama KPK adalah potensi degradasi asas lex specialis (kekhususan hukum) yang melekat pada Undang-Undang KPK

Sejumlah pasal dalam RUU KUHAP yang menurut KPK dapat menjadi pintu masuk bagi para tersangka korupsi untuk lepas dari jerat hukum.

Berikut adalah daftar 17 poin catatan kritis KPK terhadap RUU KUHAP atau RKUHP:

1. Ancaman terhadap Asas Lex Specialis: Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".

2. Keberlanjutan Penanganan Perkara: Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.

3. Penyelidik KPK Tidak Diakomodir: RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.

4. Penyempitan Definisi Penyelidikan: RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.

5. Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal: RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.

8. Birokrasi Baru Penyerahan Berkas: RKUHAP mengindikasikan penyerahan berkas perkara harus melalui penyidik Polri, bertentangan dengan UU KPK yang mengatur pelimpahan langsung dari penyidik KPK ke penuntut umum KPK.

9. Pembatasan Wewenang Penggeledahan: RKUHAP membatasi penggeledahan hanya pada tersangka dan mewajibkan pendampingan penyidik Polri dari yurisdiksi setempat, menggerus wilayah hukum penyidik KPK yang bersifat nasional.

10. Izin Penyitaan dari Pengadilan: RKUHAP mewajibkan izin Ketua Pengadilan Negeri untuk penyitaan, bertentangan dengan praktik KPK yang hanya perlu memberitahukan kepada Dewan Pengawas.

11. Izin Penyadapan dari Pengadilan: RKUHAP mensyaratkan izin Ketua PN untuk penyadapan dan hanya boleh dilakukan saat penyidikan. Ini menghapus kewenangan KPK menyadap sejak penyelidikan tanpa izin pengadilan.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan