Sabtu, 1 November 2025

Silfester Matutina Tak Dieksekusi karena Daluarsa dan RJ, Ahmad Khozinudin: Jangan Bodohi Masyarakat

Ahmad Khozinudin menilai, alasan eksekusi daluarsa dan restorative justice tidak bisa diterapkan dalam proses eksekusi Silfester Matutina.

TRIBUN TANGERANG
EKSEKUSI SILFESTER MATUTINA - Kolase foto: Koordinator Tim Advokasi Antikriminalisasi Akademisi Ahmad Khozinudin (kiri) dan Ketua Umum Relawan Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina (kanan). Ahmad Kozinuddin, mengkritisi proses eksekusi relawan pendukung Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Silfester Matutina, yang tak kunjung dilaksanakan. 

Sebagai informasi, yurisprudensi adalah kumpulan putusan hakim terdahulu yang menjadi pedoman bagi hakim lain dalam memutuskan perkara yang serupa, terutama ketika ada kekosongan atau ketidakjelasan hukum dalam undang-undang. 

Yurisprudensi berfungsi menciptakan kepastian hukum dan melengkapi undang-undang, serta merupakan sumber hukum formal di Indonesia

"Restorative justice ini sudah ada yurisprudensi. Ada beberapa case, ada di Boyolali, di Banyumas," ujar David.

"Beberapa orang yang kedapatan mencuri lalu sudah proses sidang, sudah terdakwa, tetapi dipertemukan, difasilitasi dan ada permohonan maaf korban menerima selesai," tambahnya.

Ahmad Khozinudin: Anggapan Eksekusi Silfester Sudah Daluarsa dan Adanya Restorative Justice Membodohi Masyarakat

Ahmad Khozinudin yang juga pengacara pakar telematika Roy Suryo itu menilai, alasan daluarsa dan RJ tidak bisa diterapkan dalam proses eksekusi terhadap Silfester Matutina.

Ia pun mengingatkan, ada perbedaan antara yurisprudensi dan preseden.

Menurutnya, suatu proses hukum bisa disebut yurisprudensi jika sudah ada putusan, kalau belum ada putusan, itu baru preseden saja.

Ahmad menilai, dalih daluarsa dan restorative justice dalam perkara Silfester Matutina ini justru membodohi masyarakat.

"Jadi saya ingin luruskan ya. Janganlah masyarakat dibikin bodoh dengan statement yang menambah bencana dua kali," kata Ahmad, dalam program Kompas Petang, Senin.

"Bencana pertama, kita lihat negara kita tuh kalah dengan seorang terpidana. Bencana yang kedua, masyarakat menjadi bodoh karena seolah-olah tindakan jaksa mengeksekusi itu keliru karena dianggap sudah daluarsa lah, ada restorative justice lah, dan seterusnya," tegasnya.

"Dan harus dibedakan namanya yurisprudensi dengan preseden. Kalau presedennya ada, iya tapi belum sampai putusan, belum menjadi yurisprudensi," paparnya.

"Jadi, ada perbedaan nomenklatur antara preseden dan itu juga perlu dipertanyakan presedennya seperti apa, kasusnya seperti apa," katanya.

Baca juga: Jokowi Factor, Silfester Matutina Dekat dengan Kekuasaan: Ada Kekuatan Lebih Besar dari Kejaksaan?

Menurut Ahmad, Jaksa sudah lalai karena tidak kunjung melakukan eksekusi terhadap Silfester Matutina padahal putusan sudah inkrah, dan restorative justice hanya berlaku saat sebelum penuntutan di level kejaksaan.

Ia pun merasa iba terhadap negara Indonesia yang terkesan lemah terkait proses hukum terhadap Silfester.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved