Jumat, 31 Oktober 2025

MK Jelaskan Alasan Kenapa Penting Keterwakilan Perempuan Setara dalam Pimpinan AKD

MK menilai mekanisme pemilihan pimpinan AKD yang berlaku selama ini justru membuka celah bagi terpinggirkannya perempuan

Foto: Tangkapan Layar
KETERWAKILAN PEREMPUAN - Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra. Mahkamah Konstitusi menilai penting keterwakilan perempuan yang proporsional dalam pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Ringkasan Berita:
  • MK Tegaskan Pentingnya Keterwakilan Perempuan Proporsional. 
  • Keterlibatan perempuan dalam pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dinilai penting untuk menghadirkan perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan.
  • Mekanisme Pemilihan AKD Dinilai Bermasalah Sistem pemilihan pimpinan AKD melalui usulan fraksi dan musyawarah mufakat tanpa mempertimbangkan kuota perempuan dinilai membuka celah marginalisasi.
 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi menilai penting keterwakilan perempuan yang proporsional dalam pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sebab akan membawa perspektif kesetaraan gender dalam proses pembuatan kebijakan.

Hal itu disampaikan oleh hakim Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan 169/PUU-XXII/2024, Kamis (30/10/2025).

Alat Kelengkapan Dewan (AKD) adalah organ-organ dalam lembaga legislatif (seperti DPR RI, DPRD provinsi/kabupaten/kota) yang dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi kedewanan, seperti legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Jenis Alat Kelengkapan Dewan di DPR RI: Pimpinan DPR yang terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua DPR RI.
Badan Musyawarah (Bamus), Komisi-komisi di DPR hingga Badan Legislasi.

“Eksistensi keterwakilan perempuan secara proporsional dalam pimpinan AKD justru membawa perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam proses pembuatan kebijakan oleh pembentuk undang-undang,” kata Saldi.

MK menilai mekanisme pemilihan pimpinan AKD yang berlaku selama ini justru membuka celah bagi terpinggirkannya perempuan dalam posisi strategis.

Pemilihan yang dilakukan melalui usulan fraksi dan musyawarah mufakat tanpa mempertimbangkan keterwakilan perempuan sedikitnya 30 persen, dinilai berpotensi mengabaikan prinsip kesetaraan gender.

Dalam konstruksi yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), siapa pun anggota AKD bisa mengajukan diri sebagai pimpinan.

Namun, menurut MK, jika proses itu tidak diiringi dengan mekanisme kuota perempuan, maka hasilnya bisa saja didominasi laki-laki.

Akibatnya, perempuan akan semakin sulit memperoleh kesempatan menjadi bagian dari pimpinan AKD.

“Oleh karena itu, ketiadaan ketentuan kuota paling sedikit 30 persen perempuan untuk mengisi posisi pimpinan AKD adalah inkonstitusional,” ujar Saldi.

Mahkamah menegaskan, keberadaan aturan kuota justru akan memberikan kepastian hukum yang lebih adil.

Penetapan formula 30 persen dianggap sebagai ukuran yang jelas dan terukur untuk memastikan keterwakilan perempuan dapat.

Diketahui, permohonan ini diregistrasi dengan nomor 169/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Koalisi Perempuan, Perludem, Kalyanamitra, dan Titi Anggraini.

Mereka menguji konstitusionalitas norma Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2) dan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved