Proyek Kereta Cepat
Pertanyakan Kerja Sama Whoosh Beralih ke China, Profesor NTU: Xi Bawa Proyek yang Diinginkan Jokowi
Profesor NTU, Sulfikar Amir, mempertanyakan alasan pemerintah Indonesia mengalihkan kerja sama dari Jepang ke China dalam hal proyek Whoosh.
Ringkasan Berita:
- Pada 2015, Jepang dan China sempat "berebut" tender proyek pembangunan kereta cepat yang dilelang pemerintah Indonesia.
- Meski Jepang sempat merevisi proposalnya, pemerintah Indonesia justru menjatuhkan pilihannya untuk bekerja sama dengan China.
- Terkait hal itu, Profesor dari NTU Singapura, Sulfikar Amir, membeberkan dugaannya mengenai peralihan kerja sama dari Jepang ke China.
TRIBUNNEWS.com - Sosiolog Perkotaan dari Nanyang Technology University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amir, mempertanyakan mengapa kerja sama proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh, beralih dari Jepang ke China.
Padahal, mantan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), saat berkunjung ke Jepang pada Maret 2014, sempat tertarik melanjutkan rencana bekerja sama dengan negeri sakura setelah menjajal kereta cepat buatan mereka.
"Pada bulan Maret (2014), beliau berkunjung ke Jepang dan di sana beliau mencoba kereta cepat buatan Jepang."
"Beliau sangat terkesan dan beliau ingin melanjutkan program yang sudah direncanakan oleh pemerintah Jepang," kata Sulfikar saat hadir menjadi narasumber dalam program ROSI yang tayang di KompasTV, Kamis (30/10/2025), dikutip Tribunnews.com.
Namun, menurut Sulfikar, rencana itu kandas setelah Jokowi berkunjung ke China dan bertemu Presiden Xi Jinping pada April 2014.
Tak butuh waktu lama, saat Xi Jinping ke Indonesia untuk menghadiri peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada Mei 2014, ia bertemu Jokowi dan penandatanganan kerja sama proyek kereta cepat Whoosh langsung dilaksanakan.
Baca juga: Profesor NTU Singapura Sebut Eksekusi Proyek Whoosh Ceroboh: China Buru-buru, Tak Ada Studi Mendalam
"Sebulan setelah itu (Jokowi berkunjung ke China) Xi Jinping ke Jakarta untuk mengikuti peringatan KAA dan mereka (Jokowi-Xi Jinping) bertemu lagi."
"Apa yang terjadi saat itu adalah penandatangan kerja sama antara Indonesia-China, dan di situ mencantumkan proyek kereta cepat," tutur Sulfikar.
"Artinya, jauh sebelum pemerintah Indonesia mengatakan proyek pembangunan kereta cepat itu diserahkan ke China, sudah ada deal antara Jokowi dan Xi Jinping secara resmi," lanjut dia.
Ia lantas mempertanyakan mengapa Jokowi begitu cepat mengalihkan kerja sama proyek Whoosh dari Jepang ke China.
Padahal, kata Sulfikar, perencanaan proyek Whoosh dari Jepang lebih bagus.
"Perencanaan dari Jepang itu jauh lebih bagus. (Whoosh) berhenti di Tugu Atas, Jakarta, lalu di Bandung, itu di Stasiun Bandung, center to center," ujar Sulfikar.
"Yang jadi pertanyaan kenapa China yang diberikan pekerjaan ini?" imbuh dia.
Menurutnya, Jokowi bersedia bekerja sama sebab saat kunjungan Xi Jinping ke Indonesia pada Mei 2014, Presiden China itu memperlihatkan proyek pembangunan infrastruktur yang diinginkan ayah Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, tersebut.
Proyek yang dimaksud adalah Belt and Road Initiatve (BRI).
BRI adalah strategi pembangunan infrastruktur global dan inisiatif ekonomi utama dari China yang bertujuan untuk menghubungkan Tiongkok dengan lebih dari 150 negara lainnya di Asia, Eropa, dan Afrika.
Inisiatif ini diumumkan oleh Xi Jinping pada 2013, sebagai kelanjutan dari One Road One Belt (OBOR, Satu Sabuk Satu Jalan), yang melibatkan pembangunan infrastruktur darat (Sabuk) dan laut (Jalan).
"Jawabannya simpel, karena ketika Xi Jinping datang ke Jakarta bertemu Jokowi, yang dibawa itu adalah satu proyek yang jauh lebih besar daripada kereta cepat, proyek pembangunan insfrastruktur yang diinginkan Jokowi."
"Dan ini berada di dalam payung Belt and Road Inisiative yang dimulai oleh Xi Jinping pada 2013," jelas Sulfikar.
Jadi Rebutan Jepang-China
Proyek kereta cepat sempat menjadi "rebutan" antara pemerintah Jepang dan China.
Hal ini bermula pada 2014-2015, di mana proyek kereta cepat awalnya merupakan gagasan Jepang di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Baca juga: Polemik Utang Kereta Cepat Whoosh: AHY Putar Otak Cari Solusi, China Singgung soal Manfaat
Jepang, melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), sudah sempat melakukan studi kelayakan, meski saat itu pemerintah Indonesia belum memutuskan soal kerja sama.
Dilansir Kompas.com, JICA kala itu mengeluarkan modal hingga 3,5 juta dolar AS sejak 2014, untuk mendanai studi kelayakan.
Studi kelayakan itu dilakukan bersama Kementerian Perhubungan (Kemenhub), serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (kini bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN).
Ketika pemerintahan beralih dari era SBY ke Jokowi, diputuskan oleh pemerintah Indonesia, proyek kereta cepat akan dibangun dengan rute Jakarta-Bandung.
Pemerintah Indonesia lantas membuka lelang terbuka bagi negara-negara yang tertarik, hingga masuklah China sebagai lawan Jepang yang sebelumnya sudah lebih dulu menyatakan minatnya.
Bersamaan dengan munculnya tawaran dari China dan pemerintah Indonesia kurang menunjukkan minat pada proposal pertama Jepang, utusan negeri sakura saat itu, Izumi Hiroto, membawa proposal kedua yang sudah direvisi.
Proposal yang dibawa pada 26 Agustus 2015, berisi tawaran investasi kereta cepat sebesar 6,2 miliar dolar AS.
Jepang juga menawarkan pinjaman proyek dengan masa waktu 40 tahun berbunga hanya 0,1 persen per tahun dengan masa tenggang 10 tahun, padahal sebelumnya bunga yang ditawarkan Jepang sampai 0,5 persen per tahun.
Usulan terbaru, Jepang juga menawarkan jaminan pembiayaan dari pemerintah Jepang dan meningkatkan tingkat komponen produk dalam negeri Indonesia.
Tidak lama setelahnya, China mengirimkan proposalnya pada 11 Agustus 2015, dengan tawaran harga pembangunan jauh lebih murah dan mendapat dukungan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode 2014-2019, Rini Soemarno.
China kemudian menawarkan nilai investasi yang lebih murah dari Jepang, yakni sebesar 5,5 miliar dollar AS dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.
Selain itu, berbeda dengan tawaran Jepang, China menjamin pembangunan kereta cepat tak menguras dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) Indonesia.
Tawaran China lainnya yang berbeda dengan proposal Jepang, adalah mereka mengeklaim akan terbuka soal transfer teknologi kepada Indonesia.
Dengan keuntungan yang ditawarkan, pemerintah Indonesia pun akhirnya berpaling dan memilih proposal yang ditawarkan China, meski hal itu menimbulkan kekecewaan pemerintah Jepang.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W, Kompas.com/Muhammad Idris)
Proyek Kereta Cepat
| Demokrat Sebut Proyek Whoosh Rugi Rp 2 T per Tahun, Pemerintah Harus Putuskan Siapa yang Tanggung |
|---|
| Whoosh Disebut Bukan Cari Untung, Politisi PDIP Kaget: Gimana Dulu Jokowi Bisa Rayu Xi Jinping? |
|---|
| Jokowi Alihkan Kerjasama Whoosh dari Jepang ke China, Mahfud MD Pertanyakan Apa yang Jadi Jaminan? |
|---|
| Peneliti TII: KPK Harus Panggil Jokowi Terkait Dugaan Korupsi Proyek Whoosh |
|---|
| Ichsanuddin Noorsy Sorot Pernyataan Luhut soal 'Terima Barang Busuk' Proyek Whoosh: Kenapa Menerima? |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.