Minggu, 9 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Istana Respons Polemik Gelar Pahlawan Untuk Soeharto: Mari Lihat Jasa Para Pendahulu

Mensesneg Prasetyo Hadi menanggapi polemik rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. 

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Igman
GELAR PAHLAWAN- Mensesneg RI, Prasetyo Hadi di Jakarta belum lama ini. Ia nilai wajar ada pro dan kontra terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. 
Ringkasan Berita:
  • Pemberian gelar pahlawan nasional akan diumumkan Istana Senin pekan depan
  • Anggap wajar adanya pro dan kontra
  • Sejumlah tokoh menolak pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menanggapi polemik rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto

Prasetyo mengatakan keputusan pemberian gelar pahlawan akan diumumkan pada Senin (10/11/2025) bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.

“Untuk gelar pahlawan rencana akan insyaAllah mungkin hari Senin. Nanti akan ada semacam keputusan pemberian gelar pahlawan nasional,” kata Prasetyo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (7/11/2025).

Ketika ditanya jumlah penerima gelar tahun ini, Prasetyo menyebut angka pastinya masih belum ditetapkan.

“Total belum tahu,” ujarnya.

Baca juga: Mereka yang Mendukung Soeharto Sandang Gelar Pahlawan Nasional, Legislator hingga Organisasi Pemuda

Menanggapi penolakan dari kelompok masyarakat sipil terkait kemungkinan Soeharto masuk daftar penerima gelar pahlawan, Prasetyo mengatakan seluruh proses telah melalui mekanisme resmi sesuai ketentuan yang berlaku.

“Jadi begini, mengenai gelar pahlawan itu tentunya melalui semua prosedur,” katanya.

Ia menegaskan adanya pro dan kontra adalah hal wajar.

Baca juga: Wakil Ketua Umum Golkar Respons Pernyataan Ribka Tjiptaning Soal Usul Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Namun, ia mengajak masyarakat bersikap arif dalam melihat rekam jejak pemimpin bangsa.

“Bahwa ada pro kontra, bahwa ada yang mungkin setuju mungkin tidak itu bagian dari aspirasi. Tetapi marilah sekali lagi kita mengajak semuanya untuk melihat yang positif. Melihat yang baik,” jelasnya.

“Apalagi kalau bicaranya adalah itu pemimpin-pemimpin kita terdahulu. Marilah kita arif dan bijaksana belajar menjadi dewasa sebagai sebuah bangsa untuk kita menghormati dan menghargai jasa-jasa para pendahulu. Mari kita kurangi untuk selalu melihat kekurangan-kekurangan,” katanya.

Sejumlah Tokoh Menolak

Sebanyak 486 tokoh dari berbagai elemen dan latar belakang mulai dari aktivis, akademisi, pimpinan organisasi masyarakat hingga mantan Jaksa Agung masuk dalam daftar nama yang menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional oleh negara kepada mendiang Presiden ke-2 RI Soeharto

Mereka menolak pemberian gelar ini karena rekam jejak moral, historis, dan hukum sang 'The Smiling General' jauh dari cermin nilai luhur untuk disebut pahlawan nasional. 

Para tokoh ini juga mengirimkan surat penolakan mereka ke Istana Negara dan ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto

Dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025), perwakilan para tokoh ini turut membacakan surat tersebut.

Mereka di antaranya Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, eks Ketua Komnas HAM dan Jaksa Agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman, Sejarawan Asvi Warman, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, penyintas tragedi 1965 Utati, Romo Franz Magnis Suseno, dan Anggota Dewan Pengurus Amnesty Internasional Indonesia Firda Amalia.

"Kami rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan latar belakang di Indonesia maupun di luar Indonesia, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, menyatakan penolakan kami terhadap rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden Soeharto," kata Usman membacakan surat yang dibuat koalisi masyarakat sipil ini.

Ada empat poin alasan penolakan yang dicantumkan dalam surat tersebut. 

Pertama, terjadi pelanggaran berat HAM yang masih belum terselesaikan. 

Usman menuturkan di masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto diwarnai sejumlah peristiwa kelam yang menimbulkan luka mendalam. Mulai dari peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur.

Kedua, terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang sistematis.

Praktik KKN merajalela dan menjadi budaya selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto

Kekayaan negara dikontrol segelintir orang dekat Soeharto (oligarki), monopoli bisnis keluarga di berbagai sektor dengan perlindungan dari negara. 

Berbagai yayasan yang dikelola keluarga Cendana juga menjadi alat untuk mengumpulkan dana 'sumbangan' paksa dari pengusaha dan pegawai negeri. 

TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, khususnya Pasal 4 menyebut nama Soeharto sebagai pihak yang menjadi sasaran pemberantasan KKN. 

"Pasal ini tidak dapat dianggap selesai hanya karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata Usman. 

Ketiga, pemberangusan demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Rezim Soeharto dinilai menciptakan sistem politik yang otoriter dengan mengerdilkan dan memaksakan fusi partai politik menjadi hanya tiga partai, membatasi kebebasan pers dan kebebasan dunia akademik. 

Soeharto juga dinilai melepas tanggung jawab atas rusaknya sistem dan pranata sosial politik.

Keempat, stabilitas ekonomi di masa pemerintahan Soeharto hanya muka depan belaka. 

Sebab terjadi kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar di tengah masyarakat.

"Pembangunan terpusat di Jawa dan mengabaikan daerah lain. Program Transmigrasi menimbulkan konflik horizontal dengan penduduk setempat. Krisis Moneter 1998 menjadi bukti kerapuhan fondasi ekonomi yang dibangun di atas praktik KKN," ujarnya.
.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved