Senin, 10 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Fadli Zon Sebut Tak Ada Bukti Soeharto Langgar HAM 1965, Padahal Jokowi Sudah Akui 12 Kasus

Fadli Zon bela Soeharto, bilang tak ada bukti pelanggaran HAM. Tapi Jokowi sudah akui 12 kasus berat, termasuk 1965.

Tribunnews.com/Mario Christian Sumampaow
GELAR PAHLAWAN NASIONAL: Direktur Eksekutif LBH Pers Mustafa Layong, Peneliti ELSAM, Octania Wynn, dan Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, dalam jumpa pers bertajuk "Soeharto Bukan Pahlawan, Bungkam Kebebasan Pers dan Ekspresi" di Kopi Kina, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025). Mereka menolak wacana gelar pahlawan untuk Soeharto karena dinilai membungkam pers dan melanggar HAM. 

Mustafa juga mengingatkan bahwa TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 dan TAP MPR Nomor 4 Tahun 1999 secara eksplisit menyebut Soeharto sebagai subjek yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam pemberantasan KKN.

“TAP ini masih berlaku sampai sekarang. Jadi tidak bisa serta-merta Fadli Zon atau negara menganggap bahwa ini tidak ada bukti,” pungkasnya.

Fadli Zon Tegaskan Jasa Soeharto

Menteri Kebudayaan dan politisi Partai Gerindra Fadli Zon di Fadli Zon Library, Jakarta, Senin (14/8/2023). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Menteri Kebudayaan dan politisi Partai Gerindra Fadli Zon di Fadli Zon Library, Jakarta, Senin (14/8/2023). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (tribunnews.com)

Sementara itu, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, menyatakan bahwa Soeharto memenuhi syarat untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Ia menilai Soeharto berjasa dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Operasi Pembebasan Irian Barat, serta memiliki rekam jejak perjuangan yang telah dikaji oleh tim peneliti.

“Enggak pernah ada buktinya kan? Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu,” ujar Fadli di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Menimbang Ingatan dan Demokrasi

Wacana gelar pahlawan untuk tokoh kontroversial seperti Soeharto bukan sekadar soal penghargaan negara.

Ia menyangkut ingatan kolektif bangsa, arah demokrasi, dan posisi kebebasan sipil di masa depan.

Ketika sejarah kelam tidak diakui atau dibahas secara terbuka, risiko pengulangan menjadi nyata.

Pemerintah dan masyarakat sipil dihadapkan pada pilihan: membenahi narasi sejarah atau membiarkan generasi mendatang tumbuh tanpa pelajaran dari masa lalu.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved