Minggu, 9 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Alasan Muhadjir Dukung Soeharto Diberi Gelar Pahlawan, Suara Pihak-pihak yang Mendukung

Dukungan usulan Soeharto mendapat gelar pahlawan datang dari eks menteri, Muhadjir Effendy dengan menyinggung pembangunan nasional

zoom-inlihat foto Alasan Muhadjir Dukung Soeharto Diberi Gelar Pahlawan, Suara Pihak-pihak yang Mendukung
tribunnews.com/ismanto
SOEHARTO GELAR PAHLAWAN - Mantan Presiden Soeharto saat sudah sakit di kursi roda. Dukungan usulan Soeharto mendapat gelar pahlawan datang dari eks menteri, Muhadjir Effendy dengan menyinggung pembangunan nasional
Ringkasan Berita:
  • Muhadjir Effendy senada dengan organisasinya Muhammadiyah mendukung pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto
  • Menurutnya, pembangunan nasional era Soeharto merupakan bukti kerja keras
  • Muhadjir juga menyebut tak ada satu pun orang yang bisa memungkiri andil Soeharto untuk pembangunan bangsa

 

TRIBUNNEWS.COM - Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat dan mendapat respons dari berbagai tokoh lintas sektor.

Sejumlah pemuka agama, akademisi, dan pejabat publik menyuarakan dukungan atas pengakuan negara terhadap kontribusi Soeharto dalam menjaga stabilitas nasional dan mendorong pembangunan.

Eks menteri Muhadjir Effendy, yang juga menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah, menegaskan bahwa organisasi mendukung penuh usulan pemberian gelar tersebut.

Menurutnya, keberhasilan pembangunan nasional selama masa kepemimpinan Soeharto menjadi bukti nyata dari dedikasi dan kerja kerasnya.

“Tidak ada satu pun orang yang bisa memungkiri andil Pak Harto terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya dengan Bung Karno,” ujarnya., dikutip dari WartaKotaLive.com.

Dirinya pun menyinggung pidato Presiden Prabowo Subianto yang menyerukan agar bangsa Indonesia menjunjung tinggi para tokoh yang telah berjasa besar. 

"Kita harus menanam sedalam-dalamnya kekurangan mereka dan mengangkat setinggi-tingginya jasa-jasanya,” paparnya.

Muhadjir menyebut baik Soekarno maupun Soeharto memiliki keterikatan historis dengan Muhammadiyah. 

Baginya, Soeharto pernah menyatakan dirinya sebagai “bibit Muhammadiyah” saat membuka Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada 1995.

Sama halnya dengan Soekarno yang sempat menjadi Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah di Bengkulu semasa pengasingan.

“Secara subjektif, keduanya adalah kader Muhammadiyah. Dengan jasa sebesar itu, sangat layak bila Pak Harto diberi gelar Pahlawan Nasional,” ucapnya.

Baca juga: AJI Bongkar Deretan Pembungkaman Pers Era Soeharto, Tolak Gelar Pahlawan

Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh, menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pemimpinnya.

Ia menilai bahwa seluruh mantan presiden yang telah wafat layak mendapatkan gelar pahlawan nasional sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan mereka dalam memimpin negara.

“Penghargaan semacam ini bukan sekadar seremoni, melainkan bagian dari penguatan nilai-nilai kebangsaan,” ujar Asrorun.

Asrorun Niam kembali menyoroti pentingnya memahami konteks sejarah secara adil.

Dia menyatakan bahwa setiap pemimpin bekerja dalam kondisi dan tantangan zamannya masing-masing, sehingga penilaian terhadap mereka harus dilakukan secara bijak dan proporsional.

Ia juga mengingatkan pentingnya rekonsiliasi nasional dan menghindari sikap menyimpan dendam terhadap masa lalu, karena menurutnya, tidak ada tokoh yang tanpa kekurangan.

Dukungan serupa disampaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menekankan bahwa Soeharto memiliki peran signifikan dalam sejarah Indonesia, baik sebagai pejuang kemerdekaan maupun sebagai arsitek pembangunan.

Dirinya mengingatkan kontribusi Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai salah satu bukti peran historisnya.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon turut memberikan pandangan. 

Ia menyebut bahwa tidak ada bukti hukum atau fakta sejarah yang sahih yang mengaitkan Soeharto dengan tuduhan genosida pada tahun 1965–1966.

Penilaian terhadap tokoh bangsa, kata dia,  harus didasarkan pada data dan fakta, bukan pada stigma politik.

Soeharto memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, dengan sejumlah program pembangunan seperti Repelita dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Meskipun masa pemerintahannya diwarnai kritik, banyak pihak menilai bahwa pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional merupakan bentuk penghormatan terhadap jasa dan perjalanan sejarah bangsa secara menyeluruh.

Respons Istana

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menanggapi polemik rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto

Prasetyo mengatakan keputusan pemberian gelar pahlawan akan diumumkan pada Senin (10/11/2025) bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.

“Untuk gelar pahlawan rencana akan insyaAllah mungkin hari Senin. Nanti akan ada semacam keputusan pemberian gelar pahlawan nasional,” kata Prasetyo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (7/11/2025).

Ketika ditanya jumlah penerima gelar tahun ini, Prasetyo menyebut angka pastinya masih belum ditetapkan.

“Total belum tahu,” ujarnya.

Menanggapi penolakan dari kelompok masyarakat sipil terkait kemungkinan Soeharto masuk daftar penerima gelar pahlawan, Prasetyo mengatakan seluruh proses telah melalui mekanisme resmi sesuai ketentuan yang berlaku.

“Jadi begini, mengenai gelar pahlawan itu tentunya melalui semua prosedur,” katanya.

Ia menegaskan adanya pro dan kontra adalah hal wajar.

Baca juga: Wakil Ketua Umum Golkar Respons Pernyataan Ribka Tjiptaning Soal Usul Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Namun, ia mengajak masyarakat bersikap arif dalam melihat rekam jejak pemimpin bangsa.

“Bahwa ada pro kontra, bahwa ada yang mungkin setuju mungkin tidak itu bagian dari aspirasi. Tetapi marilah sekali lagi kita mengajak semuanya untuk melihat yang positif. Melihat yang baik,” jelasnya.

“Apalagi kalau bicaranya adalah itu pemimpin-pemimpin kita terdahulu. Marilah kita arif dan bijaksana belajar menjadi dewasa sebagai sebuah bangsa untuk kita menghormati dan menghargai jasa-jasa para pendahulu. Mari kita kurangi untuk selalu melihat kekurangan-kekurangan,” katanya.

Sejumlah Tokoh Menolak

Sebanyak 486 tokoh dari berbagai elemen dan latar belakang mulai dari aktivis, akademisi, pimpinan organisasi masyarakat hingga mantan Jaksa Agung masuk dalam daftar nama yang menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional oleh negara kepada mendiang Presiden ke-2 RI Soeharto

Mereka menolak pemberian gelar ini karena rekam jejak moral, historis, dan hukum sang 'The Smiling General' jauh dari cermin nilai luhur untuk disebut pahlawan nasional. 

Para tokoh ini juga mengirimkan surat penolakan mereka ke Istana Negara dan ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto. 

Dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025), perwakilan para tokoh ini turut membacakan surat tersebut.

Mereka di antaranya Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, eks Ketua Komnas HAM dan Jaksa Agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman, Sejarawan Asvi Warman, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, penyintas tragedi 1965 Utati, Romo Franz Magnis Suseno, dan Anggota Dewan Pengurus Amnesty Internasional Indonesia Firda Amalia.

"Kami rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan latar belakang di Indonesia maupun di luar Indonesia, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, menyatakan penolakan kami terhadap rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden Soeharto," kata Usman membacakan surat yang dibuat koalisi masyarakat sipil ini.

Ada empat poin alasan penolakan yang dicantumkan dalam surat tersebut. 

Pertama, terjadi pelanggaran berat HAM yang masih belum terselesaikan. 

Usman menuturkan di masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto diwarnai sejumlah peristiwa kelam yang menimbulkan luka mendalam. Mulai dari peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur.

Kedua, terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang sistematis.

Praktik KKN merajalela dan menjadi budaya selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto

Kekayaan negara dikontrol segelintir orang dekat Soeharto (oligarki), monopoli bisnis keluarga di berbagai sektor dengan perlindungan dari negara. 

Berbagai yayasan yang dikelola keluarga Cendana juga menjadi alat untuk mengumpulkan dana 'sumbangan' paksa dari pengusaha dan pegawai negeri. 

TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, khususnya Pasal 4 menyebut nama Soeharto sebagai pihak yang menjadi sasaran pemberantasan KKN. 

"Pasal ini tidak dapat dianggap selesai hanya karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata Usman. 

Ketiga, pemberangusan demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Rezim Soeharto dinilai menciptakan sistem politik yang otoriter dengan mengerdilkan dan memaksakan fusi partai politik menjadi hanya tiga partai, membatasi kebebasan pers dan kebebasan dunia akademik. 

Soeharto juga dinilai melepas tanggung jawab atas rusaknya sistem dan pranata sosial politik.

Keempat, stabilitas ekonomi di masa pemerintahan Soeharto hanya muka depan belaka. 

Sebab terjadi kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar di tengah masyarakat.

"Pembangunan terpusat di Jawa dan mengabaikan daerah lain. Program Transmigrasi menimbulkan konflik horizontal dengan penduduk setempat. Krisis Moneter 1998 menjadi bukti kerapuhan fondasi ekonomi yang dibangun di atas praktik KKN," ujarnya.

Sebagian artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Muhammadiyah Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Muhadjir Effendy: Jasa Beliau Besar

(Tribunnews.com/Chrysnha/Igman Ibrahim)(WartaKotaLive.com/Ramadhan L Q)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved