Ijazah Jokowi
Akademisi Sebut Hanya Pengadilan yang Berwenang Nyatakan Ijazah Jokowi Palsu
Sukoco menilai sejak awal bahwa tudingan terhadap ijazah Jokowi tidak masuk akal.
Ringkasan Berita:
- Ahli hukum Sukoco menegaskan hanya pengadilan yang berwenang menyatakan keaslian ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
- Ia menilai tuduhan ijazah palsu tidak masuk akal dan mencederai reputasi Universitas Gadjah Mada (UGM), serta menegaskan presiden tidak wajib membuka dokumen pribadinya karena bukan badan publik.
- Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan tersangka penyebar hoaks ijazah palsu Jokowi dan menjerat mereka dengan pasal-pasal pencemaran nama baik dan UU ITE.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum dari Universitas Dirgantara, Sukoco, menegaskan bahwa tuduhan ijazah palsu yang diarahkan kepada Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) merupakan bentuk kesalahpahaman terhadap prinsip hukum dan tata kelola informasi publik.
Dia menekankan, satu-satunya lembaga yang berhak menyatakan suatu dokumen palsu atau tidak adalah pengadilan, bukan opini individu di media sosial.
Isu tersebut kini berujung pada proses hukum.
Sebanyak delapan orang ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penyebaran hoaks dan pencemaran nama baik, antara lain Eggi Sudjana (ES), Kurnia Tri Rohyani (KTR), M Rizal Fadillah (MRF), Rustam Effendi (RE), Damai Hari Lubis (DHL), Roy Suryo (RS), Rismon Hasiholan Sianipar (RHS), dan Tifauzia Tyassuma (TT).
Sukoco menilai sejak awal bahwa tudingan terhadap ijazah Jokowi tidak masuk akal.
Sebagai alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), ia menilai narasi itu mencederai kehormatan lembaga pendidikan yang memiliki reputasi akademik tinggi.
Ia mengingatkan pentingnya asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dalam sistem hukum Indonesia.
"Ada orang yang menuduh Ijazah mantan presiden palsu, dia mengaku sudah mengecek ini palsu 100 persen palsu. Padahal di dalam hukum pidana, ada asas yang namanya presumption of innocence atau praduga tidak bersalah, hanya pengadilan yang bisa menyatakan seseorang itu bersalah. Istilah dokumen palsu atau ijazah palsu itu harus dibuktikan pengadilan. Kita tidak bisa mengatakan bahwa ini palsu,” katanya dalam diskusi bertajuk ‘Jerat Hukum Pasca Penetapan Status Tersangka’ di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).
Sukoco menjelaskan, dalam konteks Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), kewajiban untuk menyediakan informasi publik berada di tangan badan publik, bukan individu.
Menurutnya, seorang presiden, baik saat menjabat maupun setelah purna tugas, tidak memiliki kewajiban pribadi untuk membuka dokumen pribadinya.
"Kalau kita lihat di dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi, Undang-Undang 14 tahun 2008, yang wajib menyiapkan informasi publik itu bukan perorangan, tapi badan publik. Pak Jokowi dulu presiden, tapi ketika isu digulirkan, dia adalah bukan lagi presiden, dia adalah persona. Maka, tidak ada kewajiban untuk menunjukkan ijazahnya palsu atau tidak,” ujar Sukoco.
Dia menilai, kegaduhan publik yang timbul juga menunjukkan ketidakpahaman terhadap mekanisme hukum dalam pengelolaan informasi publik.
"Siapa pun itu harus mengajukan kepada badan publik. Nah, kemudian kalau badan publik itu tidak mau menunjukkan, maka salurannya adalah ke Komisi Informasi Publik. Jadi orang itu tidak bisa langsung, ‘wah, itu palsu’. Tidak bisa,” katanya.
Sementara itu, Ahli Bahasa dari Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), Mochamad Nuruz Zaman, menilai penggunaan istilah “ijazah palsu” dalam perdebatan publik merupakan bentuk pembingkaian bahasa (framing linguistik) yang sarat makna negatif.
Polda Metro Jaya menyampaikan hasil gelar perkara penetapan tersangka kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Sebanyak delapan orang ditetapkan sebagai tersangka dalam rilis yang digelar di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (7/11/2025).
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Asep Edi Suheri menjelaskan penetapan tersangka dibagi dalam dua klaster.
"Berdasarkan hasil penyidikan, kami menetapkan 8 orang sebagai tersangka yang kami bagi dalam dua klaster," ungkapnya.
Ada lima tersangka dalam klaster pertama adalah Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, dan Muhammad Rizal Fadillah.
Dalam klaster kedua ditetapkan tiga tersangka termasuk eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianpiar, dan Tifauzia Tyassuma.
Irjen Asep menerangkan akan melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka untuk diputuskan dilakukan penahan atau tidak.
"Terkait dengan kewenangan yang diberikan oleh UU terhadap penyidik yang berhubungan dengan penahanan, tentunya ada beberapa pertimbangan yang akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh penyidik nanti pada saat pelaksanaan pemeriksaan kepada tersangka," terangnya.
Baca juga: Senyum Roy Suryo usai Tak Ditahan dalam Pemeriksaan Perdananya sebagai Tersangka Kasus Ijazah Jokowi
Para tersangka dijerat Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 32 juncto Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ijazah Jokowi
| Profil Ahmad Khozinudin yang Tantang Polisi Beradu Bukti dalam Kasus Ijazah Jokowi |
|---|
| Soroti Ketidakadilan dalam Kasus Ijazah, Kuasa Hukum Roy Suryo: Polisi Cuma Fokus Bukti dari Jokowi |
|---|
| Kasus Ijazah Jokowi, Pengacara Roy Suryo Sentil Polisi dengan Analogi Lucinta Luna |
|---|
| Kasus Ijazah Jokowi: Rismon Pertanyakan Dasar Ilmiah Tuduhan Rekayasa Digital |
|---|
| Rismon Sianipar Ancam Tuntut Balik Polisi Rp 126 Triliun Jika Dia Tak Terbukti Bersalah |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.