Rabu, 19 November 2025

Ray Rangkuti Nilai Demokrasi Indonesia Masuk Fase Bahaya, Begini Penjelasannya

 Pengamat Politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai demokrasi Indonesia masuk fase bahaya

Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
IKLIM DEMOKRASI - Focus Group Discussion (FGD) bertema “Demokrasi Rawan Militeristik: Rawat Nyala Supremasi Sipil” yang digelar Pengurus Pusat Angkatan Muda Majelis Dakwah Islamiyah (AMMDI), di Jakarta, dikutip Rabu (19/11/2025). 

Ringkasan Berita:
  • Pengamat politik Ray Rangkuti menilai ruang sipil semakin menyempit, kritik dianggap ancaman, dan peran aparat keamanan kian melebar ke ranah pengambilan keputusan publik.
  • Sementara itu, Sidratahta Muhtar menegaskan bahwa struktur kekuasaan membuka ruang besar bagi dominasi aparat bersenjata.
  • Edwin Partogi menilai institusi hukum sering kalah cepat menghadapi manuver politik yang mengikis supremasi sipil.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat Politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai demokrasi Indonesia masuk fase bahaya dan semakin jauh dari prinsip-prinsip kepemimpinan sipil. 

Menurutnya, ruang sipil dipersempit, organisasi masyarakat diawasi ketat dan unsur sipil bergerak dengan kaki terbelenggu.

“Negara ini harus dikelola oleh sipil. Aparatur keamanan fungsinya menjaga, bukan mengatur,” kata Rangkuti dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Demokrasi Rawan Militeristik: Rawat Nyala Supremasi Sipil” yang digelar Pengurus Pusat Angkatan Muda Majelis Dakwah Islamiyah (AMMDI), di Jakarta, dikutip Rabu (19/11/2025).

Ray mengatakan, saat ini ruang sipil dipersempit dan kritik yang membangun justru dilihat sebagai ancaman.

 

Bahkan setiap kritik publik kini sering dituding sebagai upaya delegitimasi negara. 

"Ketika kritik dianggap ancaman, maka negara sedang menapaki jalan menuju otoritarianisme,” kata dia

Tanda-tanda kemunduran demokrasi, kata Ray Rangkuti, terlihat jelas dimana ruang sipil dipersempit, organisasi masyarakat sipil diawasi ketat, sementara aktor-aktor keamanan semakin bebas masuk dalam jabatan publik. 

"Negara ini harus dikelola oleh sipil. Aparatur keamanan fungsinya menjaga, bukan mengatur,” ujarnya.

Dia menambahkan, ketidakjelasan batas peran inilah yang sering memunculkan gesekan antara kepentingan keamanan dan prinsip demokrasi

"Ada potensi besar dominasi kekuatan politik yang memanfaatkan aparatur negara untuk mengamankan kepentingan elektoral tertentu,” tutup dia.

Sementara itu, pengamat militer dan akademisi, Sidratahta Muhtar mengatakan bahwa akar masalah demokrasi Indonesia bukan sekadar pada figur pemimpin, tetapi pada struktur kekuasaan yang membuka ruang besar bagi dominasi aparat bersenjata.

“Masyarakat sipil sekarang bergerak dengan kaki terbelenggu. Ketika ruang politik dibiarkan diisi oleh figur-figur yang membawa pola kepemimpinan komando, demokrasi kita sedang meriang,” ujarnya tegas.

Menurut Sidratahta, jika pola ini dibiarkan, Indonesia bisa masuk fase di mana masyarakat sipil hanya menjadi penonton dalam proses politiknya sendiri.

Adapun Wakil Ketua LPSK 2019-2024, Edwin Partogi Pasaribu mengingatkan bahwa konstitusi secara tegas menempatkan warga sipil sebagai unsur utama dalam penyelenggaraan negara.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved