Jumat, 21 November 2025

Kasus Suap Ekspor CPO

Hakim Djuyamto Tak Minta Divonis Ringan di Kasus Suap Vonis Lepas CPO: Minta Dihukum Seadil-adilnya

Hakim nonaktif Djuyamto menyatakan tidak meminta divonis ringan dalam kasus suap vonis lepas korporasi crude palm oil (CPO) yang menjeratnya.

Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Rahmat Nugraha
KASUS VONIS LEPAS - Sidang kasus dugaan suap pengurusan perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) vonis lepas korporasi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (5/11/2025). Hakim nonaktif Djuyamto menyatakan tidak meminta divonis ringan tapi dihukum seadil-adilnya. 
Ringkasan Berita:
  • Yakini majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara suap vonis lepas CPO yang menjeratnya diputus berdasarkan aspek keadilan
  • Dituntut 12 tahun penjara
  • Diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 9,5 miliar

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim nonaktif Djuyamto menyatakan tidak meminta divonis ringan dalam kasus suap vonis lepas korporasi crude palm oil (CPO) yang menjeratnya.

Djuyamto hanya meminta agar majelis hakim menjatuhkan vonis seadil-adilnya dalam perkara tersebut.

Adapun hal itu Djuyamto ungkapkan saat menyampaikan duplik pribadinya secara lisan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (19/11/2025).

"Saya selaku terdakwa sebagaimana di pleidoi terdahulu tidak meminta hukuman seringan-ringanya. Saya tegas meminta hukuman seadil-adilnya," kata Djuyamto di ruang sidang.

Selain itu, Djuyamto juga meyakini majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara suap vonis lepas yang menjeratnya diputus berdasarkan aspek keadilan alih-alih hanya mempertimbangkan penegakan hukum semata.

Baca juga: Hakim Non Aktif Djuyamto Klaim Tak Nikmati Uang Suap, Minta Hukuman Seadil-adilnya 

"Saya percaya adalah tidak hanya sekadar menegakkan hukum tapi juga menegakkan keadilan sebagaimana tertuang dalam ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman," ucapnya.

Dituntut 12 Tahun Penjara

Hakim nonaktif Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarif Baharudin dituntut 12 tahun penjara pada perkara suap pengurusan perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) vonis lepas korporasi. 

Jaksa pun menghukum Djuyamto membayar denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara serta membebankan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 9,5 miliar dengan memperhitungkan aset Djuyamto  yang telah dilakukan penyitaan dalam penyidikan sebagaimana pembayaran uang pengganti berupa bangunan dan tanah.

Baca juga: Hakim Djuyamto Dituntut 12 Tahun Penjara, Sang Istri Menangis Tersedu-sedu di Ruang Sidang

Apabila Djuyamto tidak dapat membayar uang pengganti tersebut paling lama 1 bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa dapat disita jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. 

Bila Djuyamto  tidak mempunyai harta benda lagi yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun.

Tuntutan tersebut serupa untuk terdakwa Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin.

Namun, keduanya dituntut uang pengganti lebih rendah Rp 6,2 miliar.

Hal yang memberatkan tuntutan di antaranya:

1. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

2. Perbuatan terdakwa pun telah menciderai kepercayaan masyarakat khususnya terhadap institusi lembaga peradilan.

3. Terdakwa telah menikmati hasil tindak pidana suap.

Sementara itu hal yang meringankan tuntutan terdakwa kooperatif dan mengakui perbuatannya dan terdakwa belum pernah dihukum.

Perbuatan para terdakwa melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Awal Mula Suap Hakim

Peristiwa berawal dari tiga korporasi besar  yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group divonis lepas Djuyamto Cs.

Padahal tiga korporasi tersebut dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 17,7 triliun di kasus persetujuan ekspor CPO atau minyak goreng.

Ketiga terdakwa korporasi dituntut membayar uang pengganti berbeda-beda. 

  • PT Wilmar Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619 atau (Rp 11,8 triliun)
  • Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti Rp 937.558.181.691,26 atau (Rp 937,5 miliar)
  • Musim Mas Group dituntut membayar uang pengganti Rp 4.890.938.943.794,1 atau (Rp 4,8 triliun)

Uang pengganti itu dituntut Jaksa agar dibayarkan ketiga korporasi lantaran dalam kasus korupsi CPO negara mengalami kerugian sebesar Rp 17,7 triliun.

Tapi bukannya divonis bersalah, majelis hakim Pengadilan Negeri jakarta Pusat yang terdiri dari Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin justru memutus 3 terdakwa korporasi dengan vonis lepas atau ontslag pada Maret 2025.

Tak puas dengan putusan ini, Kejagung langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Sejalan dengan upaya hukum itu, Kejagung juga melakukan rangkaian penyelidikan pasca adanya vonis lepas yang diputus ketiga hakim tersebut. 

Hasilnya Kejagung menangkap tiga majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut dan menetapkannya sebagai tersangka kasus suap vonis lepas.

Kemudian eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan turut jadi tersangka. 

Dalam kasus ini, jaksa mendakwa lima hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dengan total nilai mencapai Rp 40 miliar.

Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.

Kemudian, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved