PDIP Bangun Basis Politik di Riau, Sekjen Hasto Gaungkan Spirit Melayu dan Teladan Tokoh
PDIP bangun basis politik di Riau, Hasto tekankan penguatan budaya Melayu, keteladanan sejarah, dan peradaban politik yang berideologi.
Ringkasan Berita:
- PDIP menegaskan komitmen memperkuat basis politik di Riau melalui penguatan budaya Melayu, keteladanan sejarah, dan pembangunan peradaban politik yang berideologi.
- Dalam Konferda dan Konfercab di Pekanbaru, Hasto Kristiyanto menyoroti peran budaya Melayu sebagai fondasi persatuan bangsa, pentingnya meneladani tokoh seperti Sultan Syarif Kasim II, dan pesan Megawati agar kader berpolitik dengan pengorbanan, bukan hanya mengejar kekuasaan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PDI Perjuangan (PDIP) menegaskan komitmen membangun basis politik di Riau melalui tiga pilar utama yakni penguatan akar budaya Melayu, penanaman keteladanan sejarah dan merumuskan ide-cita cita masa depan.
Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto dalam Konferensi Daerah (Konferda) dan Konferensi Cabang (Konfercab) serentak di Pekanbaru pada Sabtu (22/11/2025).
Akar budaya Melayu di Riau adalah fondasi identitas masyarakat yang mencakup bahasa, adat istiadat, seni, dan nilai sejarah yang telah menjadi perekat bangsa Indonesia.
Budaya Melayu di Riau bukan hanya warisan lokal, tetapi juga berperan besar dalam pembentukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
Acara ini dihadiri oleh Ketua DPD PDIP Riau Zukri, jajaran pengurus DPP, dan secara khusus Ketua Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Datuk Seri H. Taufik Ikram Jamil.
"Kehadiran Ketua LAMR karena Bung Karno mengingatkan, Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam jati diri kebudayaan itulah kita membangun karakter bangsa," ujar Hasto.
Hasto menekankan bahwa sumbangsih kultural Riau sangat fundamental bagi persatuan nasional.
Hasto memuji keindahan songket dan tarian Riau yang disajikan dalam drama musikal, lalu menyampaikan pantun penghormatan.
Songket Riau adalah kain tenun tradisional khas Melayu yang menjadi simbol budaya dan identitas masyarakat Riau.
Budaya Riau sendiri berakar pada tradisi Melayu yang mencakup bahasa, adat, seni, dan nilai sejarah.
Lebih dari sekadar apresiasi, ia menekankan peran sentral budaya Melayu dalam mempersatukan Indonesia melalui Sumpah Pemuda 1928.
Sumpah Pemuda 1928 adalah ikrar persatuan bangsa Indonesia yang diucapkan pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, berisi janji satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Sumpah Pemuda lahir dari Kongres Pemuda II yang digelar di Jakarta pada 27–28 Oktober 1928.
Isi ikrar:
- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
"Meskipun pengguna Bahasa Jawa, Sunda, Batak jauh lebih besar, para pemuda visioner itu mencari suatu tradisi kebudayaan yang menjadi jembatan. Mengapa Bahasa Indonesia yang akarnya Melayu? Maka, banggalah bahasa ini sungguh-sungguh telah menyatukan kita," serunya, menggugah kebanggaan pemuda Riau.
Di pilar kedua, Hasto menyampaikan keprihatinan bahwa banyak anak bangsa yang lupa sejarah akibat pendidikan politik yang ahistoris.
Dia pun mengajak kader meneladani pengorbanan sejati, dimulai dari kisah Sultan Syarif Kasim II dari Kesultanan Siak.
"Beliau mempersembahkan kedaulatannya, mahkotanya, pedangnya, dan dana sebesar 13 juta Gulden dipersembahkan bagi Republik yang baru berdiri. Beliau tidak bertanya mau jadi apa, dan akhirnya beliau lebih memilih menjadi rakyat biasa," ujar Hasto.
Dia juga menyoroti Bung Karno yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di usia 26 tahun dengan prinsip non-cooperation melawan kolonialisme terbesar di dunia saat itu.
"Seorang anak muda memekikkan dengan lantang: 'Saya mendirikan PNI untuk memerdekakan Indonesia Raya'," ucap Hasto.
Untuk menguji mental kader, Hasto membacakan surat mengharukan dari kader PNI di Ciamis yang akan digantung Belanda, sebagai contoh pengorbanan total demi kemerdekaan.
"Bayangkan, sebelum digantung, mereka berkirim surat kepada Bung Karno yang isinya menyatakan pergi ke tiang gantungan dengan hati gembira karena yakin Bung Karno akan melanjutkan peperangan," tuturnya.
Hasto lantas melontarkan tantangan kepada kader yang hadir.
"Apakah kita punya keberanian seperti ini? Pemilu baru menghadapi intimidasi, sudah banyak yang takut dan melintir."
Hasto menegaskan kembali pesan moral Ketua Umum Megawati.
"Menjadi banteng-banteng PDI Perjuangan tidak ditentukan oleh jabatannya apa, tetapi ditentukan oleh apa yang bisa kita berikan kepada rakyat Indonesia," tegasnya.
Hasto menekankan bahwa PDI Perjuangan harus fokus membangun peradaban politik berbasis pengorbanan dan ideologi, bukan sekadar mengejar kekuasaan transaksional.
"Maka pertanyaannya, apakah kita sedang membangun kekuasaan atau kita membangun peradaban?" tandas Hasto.
Sumber: Tribunnews.com
| Kontraktor Bongkar Drainase, Kesal Utang Rp800 Juta Tak Dibayar Pemkot, Kini Malah Minta Maaf |
|
|---|
| Kerja Tanpa Lelah, Driver Ojol di Batam Meninggal Dunia saat Istirahat |
|
|---|
| Segel KPK di Rumdin Gubernur Riau Diduga Dirusak, 3 Pramusaji Jadi Saksi Kunci |
|
|---|
| Sosok 3 Pramusaji di Rumah Dinas Gubernur Riau, Diperiksa KPK terkait Penyidikan Kasus Abdul Wahid |
|
|---|
| Buntut Guru Banting Nasi Kotak di Riau: Terungkap Dugaan Pungli, Kepsek Dicopot, 2 Honorer Dipecat |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.