Tribunners / Citizen Journalism
Polemik THR Mitra: Populisme yang Bisa Menghancurkan Ekosistem Ekonomi Gig
Kontroversi terkait status kemitraan mitra pengemudi dan tuntutan pemberian THR dari perusahaan aplikasi transportasi daring terus menjadi sorota.
Editor:
Dewi Agustina
Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin mengambil manfaat dari model ekonomi gig, tetapi enggan memberikan kejelasan hukum yang melindungi keberlanjutan ekosistem ini.
Apakah Mitra Pengemudi Memenuhi Kriteria Pekerja Formal?
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian untuk melakukan pekerjaan dapat berupa:
(1) Perjanjian Pemborongan
(2) Perjanjian Melakukan Jasa Tertentu atau
(3) Perjanjian Kerja, sehingga sekalipun melakukan pekerjaan, tidak dapat diartikan bahwa yang timbul adalah hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang sebagian pasal-pasal didalamnya sudah dicabut ataupun diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur esensial yaitu pekerjaan, perintah, dan upah secara kumulatif.
Jika melihat dari perspektif regulasi ini, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi tidak memenuhi ketiga unsur tersebut:
1. Pekerjaan: Mitra pengemudi memang melakukan pekerjaan transportasi, tetapi mereka bekerja secara mandiri dengan segala fleksibilitas jam kerja dengan beralaskan perjanjian kemitraan.
2. Perintah: Tidak ada instruksi langsung dari perusahaan aplikasi, instruksi didapatkan dari konsumen. Mitra pengemudi memiliki kebebasan penuh untuk menerima atau menolak pesanan dari konsumen.
3. Upah: Tidak ada gaji tetap dari perusahaan aplikasi, melainkan sistem bagi hasil, di mana mitra pengemudi membayar biaya sewa aplikasi untuk mengakses pelanggan.
Dengan melihat bisnis prosesnya, skema kerja seperti ini lebih menyerupai model bisnis kemitraan, dibandingkan hubungan kerja yang tunduk pada hukum ketenagakerjaan, meskipun ada yang menyebutkan kemitraan semu.
Kalaupun ada kehendak untuk menjadikan mitra pengemudi masuk dalam katagori pekerja dengan hubungan kerja didalamnya, maka perlu ada perubahan secara sistemik, mulai definisi pekerja, unsur hubungan kerja dan lain-lain.
Sayangnya, alih-alih memperjelas posisi hukum ini, pemerintah justru membiarkan polemik berlarut-larut tanpa kepastian, menciptakan ketidakstabilan bagi mitra pengemudi dan industri secara keseluruhan.
THR untuk Mitra: Tuntutan Populis yang Kontradiktif dengan Regulasi
Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mensyaratkan bahwa THR hanya diberikan kepada pekerja yang memiliki hubungan kerja.
Meskipun dari perspektif mitra pengemudi wacana pemberian THR direspons positif, tetapi jika pemerintah melalui Menaker memaksakan kebijakan ini terhadap perusahaan aplikasi ride-hailing, maka akan terjadi benturan dalam tatanan-sistem hukum ketenagakerjaan yang ada, oleh karena itu perlu ada kajian mendalam sebelumnya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
FGD Potongan Aplikasi Ricuh, Garda Indonesia Berharap Keadilan Representasi |
![]() |
---|
Berjuang Demi Keluarga, Pengemudi Ojol Jadi Korban Penikaman di Sukoharjo |
![]() |
---|
Demo Ojol Akan Berjilid-jilid sampai Tuntutan 10 Persen Potongan Aplikator Dipenuhi Pemerintah |
![]() |
---|
Usai Bunuh Sopir Taksi Online, Pelaku Tinggalkan Mobil Karena Tidak Bisa Operasikan Mobil Listrik |
![]() |
---|
Demo Pengemudi Ojol di Jakarta, Keluhkan Orderan Jarang Hingga Potongan Komisi Sampai 40 Persen |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.