Rabu, 20 Agustus 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Polemik THR Mitra: Populisme yang Bisa Menghancurkan Ekosistem Ekonomi Gig

Kontroversi terkait status kemitraan mitra pengemudi dan tuntutan pemberian THR dari perusahaan aplikasi transportasi daring terus menjadi sorota.

Editor: Dewi Agustina
Tribunnews/Choirul Arifin
THR MITRA - Driver ojek online menunggu penumpang di shelter di area Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Senin, 8 Mei 2023. Kontroversi terkait status kemitraan mitra pengemudi dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan aplikasi transportasi daring terus menjadi sorotan di berbagai media Indonesia. 

Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin mengambil manfaat dari model ekonomi gig, tetapi enggan memberikan kejelasan hukum yang melindungi keberlanjutan ekosistem ini.

Apakah Mitra Pengemudi Memenuhi Kriteria Pekerja Formal?

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian untuk melakukan pekerjaan dapat berupa: 

(1) Perjanjian Pemborongan

(2) Perjanjian Melakukan Jasa Tertentu atau 

(3) Perjanjian Kerja, sehingga sekalipun melakukan pekerjaan, tidak dapat diartikan bahwa yang timbul adalah hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang sebagian pasal-pasal didalamnya sudah dicabut ataupun diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur esensial yaitu pekerjaan, perintah, dan upah secara kumulatif.

Jika melihat dari perspektif regulasi ini, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi tidak memenuhi ketiga unsur tersebut:

1. Pekerjaan: Mitra pengemudi memang melakukan pekerjaan transportasi, tetapi mereka bekerja secara mandiri dengan segala fleksibilitas jam kerja dengan beralaskan perjanjian kemitraan.

2. Perintah: Tidak ada instruksi langsung dari perusahaan aplikasi, instruksi didapatkan dari konsumen. Mitra pengemudi memiliki kebebasan penuh untuk menerima atau menolak pesanan dari konsumen.

3. Upah: Tidak ada gaji tetap dari perusahaan aplikasi, melainkan sistem bagi hasil, di mana mitra pengemudi membayar biaya sewa aplikasi untuk mengakses pelanggan.

Dengan melihat bisnis prosesnya, skema kerja seperti ini lebih menyerupai model bisnis kemitraan, dibandingkan hubungan kerja yang tunduk pada hukum ketenagakerjaan, meskipun ada yang menyebutkan kemitraan semu.

Kalaupun ada kehendak untuk menjadikan mitra pengemudi masuk dalam katagori pekerja dengan hubungan kerja didalamnya, maka perlu ada perubahan secara sistemik, mulai definisi pekerja, unsur hubungan kerja dan lain-lain. 

Sayangnya, alih-alih memperjelas posisi hukum ini, pemerintah justru membiarkan polemik berlarut-larut tanpa kepastian, menciptakan ketidakstabilan bagi mitra pengemudi dan industri secara keseluruhan.

THR untuk Mitra: Tuntutan Populis yang Kontradiktif dengan Regulasi

Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mensyaratkan bahwa THR hanya diberikan kepada pekerja yang memiliki hubungan kerja.

Meskipun dari perspektif mitra pengemudi wacana pemberian THR direspons  positif, tetapi jika pemerintah melalui Menaker memaksakan kebijakan ini terhadap perusahaan aplikasi ride-hailing, maka akan terjadi benturan dalam tatanan-sistem hukum ketenagakerjaan yang ada, oleh karena itu perlu ada kajian mendalam sebelumnya.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan