Tribunners / Citizen Journalism
Polemik THR Mitra: Populisme yang Bisa Menghancurkan Ekosistem Ekonomi Gig
Kontroversi terkait status kemitraan mitra pengemudi dan tuntutan pemberian THR dari perusahaan aplikasi transportasi daring terus menjadi sorota.
Editor:
Dewi Agustina
Apalagi jika misalnya benar adanya sinyalemen bahwa wacana pemberlakuan THR bagi mitra pengemudi lebih mencerminkan tekanan politik dan populisme ketimbang kebijakan yang berbasis regulasi dan keberlanjutan ekonomi.
Kalaupun Pemerintah ingin mengambil langkah populis untuk menunjukkan keberpihakan kepada pekerja gig, harus juga mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap fleksibilitas kerja dan ekosistem ride-hailing.
Jika regulasi dibuat sekadar untuk memenuhi tuntutan politik tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum, ekonomi, dan sosial didalamnya, maka yang akan terjadi justru pemangkasan peluang kerja, menurunnya investasi, serta terganggunya stabilitas industri digital di Indonesia dengan segala kompleksitas permasalahan di dalamnya.
Pemerintah Harus Konsisten dan Visioner
Di banyak negara, dalam persoalan ketenagakerjaan, pemerintah salah satunya berperan sebagai regulator yang memastikan keseimbangan antara hak pekerja dan keberlanjutan industri.
Namun, di Indonesia, dalam konteks mitra pengemudi, pemerintah justru terkesan gamang dan reaktif dalam menyikapi perkembangan ekonomi digital.
Jika pemerintah serius ingin mendukung kesejahteraan mitra pengemudi, solusinya bukanlah dengan memaksakan kebijakan yang bertentangan dengan regulasi- sistem hukum yang ada, tetapi misalnya dengan memberikan insentif yang lebih relevan - misalnya, melalui program perlindungan sosial, akses pembiayaan yang lebih mudah, serta skema insentif berbasis produktivitas.
Kalaupun ingin memberikan hak hak sebagai pekerja kepada mitra pengemudi, maka harus dilakukan secara sistemik.
Itu pun harus dengan kajian yang mendalam, jangan sampai merusak ekosistem yang ada dan justru kontraproduktif.
Persoalan mitra pengemudi ini, melibatkan banyak stakeholders kelembagaan, yang secara koordinatif harusnya duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan tanpa menciptakan permasalahan baru.
Jika pemerintah terus bersikap ambigu dan membiarkan ketidakpastian hukum ini berlarut-larut, bukan tidak mungkin industri ride-hailing dan ekonomi digital Indonesia akan kehilangan daya saingnya.
Alih-alih menarik investor dan mendukung inovasi, kebijakan yang tidak konsisten ini justru bisa membuat perusahaan dan talenta digital mencari peluang di negara lain yang lebih ramah terhadap industri ekonomi gig.
Di tengah supply dan demand tenaga kerja yang tidak seimbang, tentu hal ini akan memicu persoalan tersendiri.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan hanya terbatas soal THR atau status pekerja, tetapi bagaimana pemerintah bisa bersikap lebih konsisten dan visioner dalam menciptakan regulasi yang mendukung ekosistem kerja digital tanpa mengorbankan fleksibilitas yang telah menjadi daya tarik utama industri ini dengan tetap memberikan perlindungan kepada “pekerja gig” di dalamnya.
Kebijakan yang tergesa-gesa hasilnya adalah ketidakdalaman-ketidakdalaman.
Seberapa bagusnya konsep-idealisme yang ditawarkan, perlu daya dukung ekosistem di dalamnya serta kajian mendalam agar operasional dan tidak kontraproduktif, terutama dari stakeholders kelompok sasaran, karena merekalah yang terdampak dan harus melaksanakan kebijakan tersebut.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
FGD Potongan Aplikasi Ricuh, Garda Indonesia Berharap Keadilan Representasi |
![]() |
---|
Berjuang Demi Keluarga, Pengemudi Ojol Jadi Korban Penikaman di Sukoharjo |
![]() |
---|
Demo Ojol Akan Berjilid-jilid sampai Tuntutan 10 Persen Potongan Aplikator Dipenuhi Pemerintah |
![]() |
---|
Usai Bunuh Sopir Taksi Online, Pelaku Tinggalkan Mobil Karena Tidak Bisa Operasikan Mobil Listrik |
![]() |
---|
Demo Pengemudi Ojol di Jakarta, Keluhkan Orderan Jarang Hingga Potongan Komisi Sampai 40 Persen |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.