Selasa, 28 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Layakkah Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto?

Rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto menuai pro-kontra, dinilai bertentangan dengan sejarah dan hukum yang berlaku.

Editor: Glery Lazuardi
istimewa
HENDARDI - Masyarakat terbelah soal rencana pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, sosok yang lekat dengan pembangunan sekaligus pelanggaran HAM. 

Berjasa besar terhadap bangsa dan negara

Berkelakuan baik

Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara

Tidak pernah dipidana minimal 5 tahun penjara berdasarkan putusan hukum tetap

Putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum dan harus mengembalikan dana sekitar Rp 4,4 triliun kepada negara. Masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun ditandai dengan:

Pelanggaran HAM berat (Tragedi 1965, Petrus, Timor Timur, dll)

Korupsi dan kolusi sistemik

Otoritarianisme dan pembungkaman oposisi

TAP MPR No. XI/MPR/1998 secara eksplisit menyebut nama Soeharto dalam konteks pemberantasan KKN, meski telah dicabut menjelang pelantikan Presiden Prabowo.

Menteri Kebudayaan RI yang juga Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyatakan bahwa seluruh tokoh yang diusulkan oleh Kementerian Sosial, termasuk Soeharto, untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional telah memenuhi kriteria. 

Tampak jelas, upaya pemerintahan Prabowo Subianto serta elite politik dan penyelenggara negara di sekitarnya untuk menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional berlangsung sistematis. 

Setelah Prabowo terpilih sebagai Presiden, sebulan sebelum pelantikan sebagai Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

Pasal 4 TAP MPR 11/1998 tersebut berbunyi "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia". 

Sejak awal, pencabutan ini merupakan langkah yang salah karena mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Fakta itulah yang mendorong gerakan Reformasi 1998. Maka, upaya elite politik dan penyelenggara negara untuk sebelumnya mencabut Pasal dalam TAP MPR Nomor XI/1998 yang menyebut Soeharto dan kini mengajukan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional nyata-nyata mengalami amnesia politik dan sejarah serta mengkhianati amanat reformasi.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved