Aprindo Tagih Utang Rp344 Miliar Soal Minyak Goreng ke Kemendag, Ini Awalnya dan Kata Zulkifli Hasan
Belum terbayarnya rafaksi karena belum ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mengatur terkait pembayaran utang ke Aprindo.
Penulis:
Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menagih Kementerian Perdagangan (Kemendag) segera membayar utang penggantian selisih harga jual dengan harga keekonomian atau rafaksi minyak goreng senilai Rp344 miliar.
Aprindo merasa kecewa dengan sikap pemerintah, padahal programnya menyediakan minyak murah dengan harga Rp14.00 per liter sudah dibantu pihak swasta.
Menyikapi hal itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, belum terbayarnya rafaksi karena belum ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mengatur terkait pembayaran utang ini.
Baca juga: Harga Minyakita Masih di Atas HET, Termahal di Gorontalo Rp 17.500 per Liter, Ini Daftar Lengkapnya
Nantinya, pembayaran akan dilakukan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kepala Sawit (BPDPKS).
"Jadi, BPDPKS itu mau bayar, tetapi Permendagnya sudah tidak ada. Maka perlu adanya payung hukum. BPDPKS mau bayar kalau ada aturannya. Kalau tidak ada aturannya, BPDPKS bisa masuk penjara," ujar Zulkifli di kantor Kementerian Perdagangan, Kamis (4/5/2023).
Sebelumnya, ada Permendag Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Pada pasal 7 dalam Permendag tersebut menyatakan, pelaku usaha akan mendapat dana dari BPDPKS.
Dana itu dihitung dari selisih harga eceran tertinggi (HET) dan harga keekonomian yang ditawarkan di pasar.
Dalam Permendag tersebut, HET ditetapkan sebesar Rp14 ribu per liter.
Namun, regulasi itu kemudian dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tetinggi Minyak Goreng Sawit.
Zulkifli mengatakan, saat ini Kementerian Perdagangan sedang menunggu fatwa hukum dari Kejaksaan Agung terkait pembayaran rafaksi ini.
Apabila Kejaksaan Agung sudah merespons, Kemendag baru akan membuat surat untuk pembayaran utang tersebut.
"Kita perlu fatwa hukum. Itu yang diminta Sekjen ke Kejaksaan Agung. Dari Kejaksaan Agungnya juga belum ada hasilnya. Kalau sudah ada nanti kita bilang dan bikin surat untuk langsung membayar utang tersebut," ujar Zulkifli.
Awal Mulanya Utang Rp344 Miliar
Utang Kemendag ke Aprindo sudah berlangsung selama satu tahun, terhitung sejak Januari 2022.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menjelaskan, utang pemerintah atas pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng senilai Rp 344 miliar dibayarkan oleh pihak swasta.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mande mengatakan dana tersebut sebetulnya telah dikumpulkan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), namun belum bisa dibayarkan karena belum mendapatkan izin dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Baca juga: Minyak Goreng Langka Akibat Ditimbun? Aprindo Sebut Tak Masuk Akal hingga Produsen Mengaku Bingung
Adapun untuk perhitungannya telah disepakati bersama dalam rapat-rapat yang digelar sebelum tanggal 19 Januari 2022 atau pada waktu sebelum dimulainya program satu harga.
"Kami sebelum tanggal 19 (Januari 2022) itu hampir setiap hari ada di gedung utama Kementerian Perdagangan bersama Pak Dirjen PDN yang lalu, dan para eselon. Untuk meeting-kan, gimana nih supaya harga bisa masuk, rakyat menjerit karena per liternya mahal di atas Rp 24.000," ujar Roy dikutip dari Kompas.com.
Menurutnya, Kemendag pun mendorong Aprindo untuk memberikan harga murah yakni Rp 14.000 per liter dan berjanji selisih uang minyak goreng yang dijual murah tersebut akan dibayar oleh BPDPKS.
"Kemendag bilang kita ganti uangnya bukan dari APBN, dari BPDPKS, karena itu uang swasta yang dititipkan, yang diberikan sebagai ongkos pungutan ekspor, ya udah. Nah itu prosesnya hampir setiap hari itu," ungkap Roy.
Kemudian pada saat program dimulai tanggal 19 Januari 2022, kata Roy, pihaknya juga masih belum memegang Permendag Nomor 3/2022 sebagai landasan hukumnya.
Namun anggota Aprindo tetap menjalankan komitmen tersebut saat harga minyak goreng Rp 24.000 per liter tetapi dijual Rp 14.000 per liter, sesuai keputusan rapat bersama.
"Nah pada saat 19 Januari pun kita tidak memegang Permendag 3, belum ada. Kira-kira 7-10 hari kemudian baru Permendag 3 nya itu keluar, artinya apa? Belum ada pegangan apapun, kita percaya pada pemerintah, kita melakukan komitmen itu untuk menjualkan satu harga, pada saat harga per liternya Rp 24.000, kita jual Rp 14.000 sesuai dengan arahan pada hari-hari sebelumnya. Nah sudah sampai begitu kita lakukan coba," jelasnya.
Tak selang berapa lama, Kemendag membuat kebijakan yakni Permendag 3 dibatalkan dan diganti dengan Permendag 6 Tahun 2022. Dari situ lah akhirnya permasalahan terkait pembayaran rafaksi minyak goreng terjadi.
"Nilai yang kita tagih, yang Rp 344 miliar dari tanggal 19-31 Januari 2022 datanya sudah selesai kita berikan pada tanggal 31 Januari, bahkan itu langsung pada hari itu diminta gak boleh lewat tanggal 31 Januari. Sudah, kita sudah berikan data kepada produsen, produsen sudah serahkan data kepada Kemendag," jelas Roy.
Aprindo pun meminta para produsen minyak goreng yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) ikut bersuara dan mendorong Kementerian Perdagangan agar mau membayar utang tersebut.
Sebab menurut dia yang langsung terlibat dalam proses utang piutang itu ke pemerintah adalah para produsen minyak goreng yang kemudian nantinya produsen minyak goreng langsung membayarkan ke ritel.
"Kami mau membangunkan produsen minyak goreng, allert lah ke produsen. Kita yang sudah berbusa-busa kalian kok enggak ada sepatah katapun mengenai rafaksi. Padahal rafaksi itu setelah tanggal 19 januari 2022 karena Permendag 3 keluar, mereka jual ke pasar tradisonal dengan harga murah," katanya.
"Ini yang terima bayaran bukan ke ritel langsung tapi dari BPDPKS kepada produsen, baru produsen ke ritel. Tapi kenapa produsen 2 asosiasi besar Aimmi dan Gimni kok diam saja. Kenapa mereka kok tidur padahal anggotanya sudah gerak terus," sambung Roy.
Lebih lanjut Roy mengatakan, total utang pemerintah tersebut sebenarnya kurang lebih mencapai Rp 800 miliar. Sebab, pada saat kebijakan satu harga minyak goreng yang dibuat pemerintah, para produsen ikut menjual langsung ke pasar dengan harga yang murah.
Baca juga: Jelang Ramadan dan Lebaran Pengusaha Diminta Naikkan Kuota Minyakita 450 Ribu Ton
"Totalnya dengan kita hampir Rp 344 miliar tapi sebenanrya yang mereka jual subsidi ke pasar tradisional itu total hampir Rp 800 miliar. Itu ada juga mereka kasih harga ke pasar padahal waktu itu ketika Permendag 3 jalan mereka kasih harga murah padahal waktu itu mereka jualnya enggak segitu. Lebih mahal. Mereka sudah buat data totalnya kisaran Rp 800 miliar," ungkap Roy.
Menurut dia, salah satu alasan para produsen minyak goreng tidak ikut bertindak mendorong pemerintah untuk membayar utang tersebut adalah adanya kekhawatiran mereka ketika pemerintah membuat kebijakan yang menurunakan perbandingan antara jumlah CPO yang diekspor dengan kewajiban DMO-nya sehingga mengganggu profit bisnis.
"Khawatir mereka ketika dikecilkan saja perbandingan eskpor dengan kewajiban DMO nya itu sudah turun, April ini sudah 1:4, 1 liter minyak kita 4 liter ekspor. Sebelumnya kan 1:6,1:8, jadi sudah diturun-turunkan. Yang dikhawatirkan mereka itu terganggu bisnisnya. Menurut saya loh yah," ucap Roy.
Sinergi Pemerintah dan Swasta Demi Kebutuhan Air Bersih Masyarakat |
![]() |
---|
Terima Telepon Dasco, Pengacara Pastikan Tom Lembong Bebas Sore atau Malam, Keppres Abolisi Terbit |
![]() |
---|
Ray Rangkuti: Amnesti untuk Hasto Membuat PDI Perjuangan Berutang Budi ke Prabowo |
![]() |
---|
Nilai Ekspor RI hingga Juni Sebesar 135,41 Miliar Dolar AS |
![]() |
---|
UMKM Bisa Ekspor ke Jepang dan China Tanpa Tatap Muka dengan Calon Pembeli |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.