Kamis, 6 November 2025

Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal III 2025 Diperkirakan Tetap di Kisaran 5 Persen, Berikut Faktornya

Realisasi belanja pemerintah hingga September baru mencapai 59,7 persen dari target tahunan, dibandingkan 64,7 persen pada 2024.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
PERTUMBUHAN EKONOMI - Suasana pemukiman dengan latar belakang gedung bertingkat di Jakarta. Perekonomian Indonesia akan tetap di kisaran 5 persen pada kuartal ketiga (Q3) 2025, relatif tidak berubah dibandingkan periode sebelumnya. 
Ringkasan Berita:
  • Konsumsi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan dan investasi tetap solid.
  • Terdapat kenaikan data penjualan ritel sebesar 5,8 persen secara tahunan pada September.
  • Realisasi belanja pemerintah hingga September baru mencapai 59,7 persen.

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) memperkirakan bahwa perekonomian Indonesia akan tetap di kisaran 5 persen pada kuartal ketiga (Q3) 2025, relatif tidak berubah dibandingkan periode sebelumnya.

Research Director Prasasti, Gundy Cahyadi, memandang konsumsi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan dan investasi tetap solid.

Keseluruhan data disebut mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan saat ini lebih bersifat stabil daripada menguat secara signifikan.

"Konsumsi memang membaik, tetapi lajunya masih jauh dari kata kuat. Yang kita lihat saat ini adalah stabilisasi, bukan lonjakan. Kabar baiknya, fondasi dasarnya tetap kokoh," kata Gundy dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/11/2025).

Baca juga: Di KTT APEC, Prabowo Bicara soal Korupsi hingga Pebisnis Rakus Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Prasasti melihat terdapat kenaikan data penjualan ritel sebesar 5,8 persen secara tahunan pada September.

Angka tersebut merupakan laju tertinggi sejak awal 2024 dan menunjukkan adanya sedikit peningkatan permintaan rumah tangga.

Namun, inflasi inti yang hanya mencapai 2,2 persen menunjukkan bahwa dorongan belanja masyarakat masih terbatas.

Kepercayaan konsumen juga belum pulih sepenuhnya, tertekan oleh pertumbuhan pendapatan yang tidak merata serta kekhawatiran terhadap biaya hidup.

Dari sisi moneter, kondisi likuiditas disebut menunjukkan perbaikan. Jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) tumbuh 8 persen secara tahunan pada September.

Hal tersebut didorong oleh pelonggaran kebijakan moneter Bank Indonesia yang telah memangkas suku bunga acuan sebesar 150 bps (basis poin) sejak September 2024.

Dampak dari pemangkasan suku bunga tersebut mulai terasa, meski penyalurannya ke sektor kredit dan konsumsi masih berlangsung secara bertahap.

Sementara dari sisi fiskal, realisasi belanja pemerintah hingga September baru mencapai 59,7 persen dari target tahunan, dibandingkan 64,7 persen pada periode yang sama tahun lalu.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dorongan fiskal pada kuartal ketiga masih terbatas, tetapi membuka ruang untuk percepatan belanja pada akhir tahun ketika kementerian dan lembaga biasanya mempercepat penyerapan anggaran.

Lalu, investasi disebut tetap menjadi penopang utama pertumbuhan, meskipun mulai menunjukkan tanda perlambatan.

Impor barang modal, yang menjadi indikator aktivitas proyek, tumbuh 32,5 persen (yoy) pada Kuartal II, tetapi melambat menjadi sekitar 11,2 persen pada Juli–Agustus. Pertumbuhan kredit perbankan juga melemah ke 7,6 persen.

Meski demikian, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi naik 13,9 persen secara tahunan pada kuartal ketiga, dipimpin oleh sektor pusat data, logistik, dan infrastruktur digital.

"Investasi masih menjadi jangkar pertumbuhan, namun momentumnya mulai menurun,” ujar Gundy.

“Arus investasi ke sektor jasa dan digital memang positif, tetapi tahap berikutnya perlu difokuskan pada revitalisasi sektor industri agar daya saing jangka panjang tetap terjaga," sambungnya.

Sisi Eksternal

Dari sisi eksternal, neraca perdagangan disebut terus menjadi bantalan penting bagi stabilitas ekonomi.

Surplus perdagangan mencapai 5,49 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada Agustus, tertinggi sejak awal 2024.

Kinerja ekspor masih didukung oleh permintaan yang stabil dari pasar utama serta harga komoditas yang relatif kuat, terutama minyak sawit mentah (CPO).

Surplus yang berkelanjutan ini turut membantu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memperkuat cadangan devisa, sehingga menopang ketahanan makroekonomi Indonesia.

"Kombinasi kebijakan moneter dan fiskal tetap terjaga dengan baik. Pelonggaran moneter Bank Indonesia menjaga likuiditas tanpa menimbulkan gejolak arus modal," kata Gundy.

"Sementara pengelolaan fiskal yang disiplin memberi ruang bagi stimulus yang lebih terarah. Sinergi ini menopang pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan,” jelasnya.

Prasasti pun menilai bahwa perekonomian Indonesia berada pada jalur yang stabil dan terukur, tidak terlalu panas dan tidak terlalu melemah.

Potensi kenaikan pertumbuhan bergantung pada percepatan realisasi belanja fiskal serta investasi yang berkelanjutan pada kuartal keempat, sementara risiko utama berasal dari kehati-hatian rumah tangga serta pemulihan kredit yang masih lambat.

“Untuk saat ini, laju pertumbuhan sekitar 5 persen dinilai tetap kokoh dan mencerminkan ketahanan fundamental ekonomi Indonesia di tengah dinamika global yang belum menentu,” katanya. 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved