Selasa, 7 Oktober 2025
DPR RI

Fikri Faqih Soroti Lemahnya Regulasi dan Riset Pelestarian Cagar Budaya

Anggota DPR RI Fraksi PKS Fikri Faqih menyoroti lemahnya tata kelola dan minimnya anggaran pelestarian cagar budaya di Indonesia

DOK. DPR RI
Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Fikri Faqih menyoroti lemahnya tata kelola dan minimnya anggaran pelestarian cagar budaya di Indonesia. 

TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyoroti kelemahan serius dalam tata kelola cagar budaya di Indonesia. Menurut pria yang akrab disapa Fikri ini, kegagalan dalam menyediakan riset yang memadai dan kerangka regulasi yang kokoh membuat kekayaan budaya nasional terancam hancur dan tidak mampu bersaing dengan situs global.

Fikri lantas membandingkan pengelolaan cagar budaya di Indonesia, seperti Borobudur, dengan situs dunia seperti Hagia Sophia atau Aya Sofia di Turki dan Alhambra di Spanyol. Ia menyebut situs global berhasil menciptakan narasi keunggulan yang didukung riset berbiaya tinggi, sehingga menghasilkan pendapatan finansial yang besar.

“Situs global berhasil menciptakan narasi keunggulan yang membuat cagar budaya menjadi aset yang bernilai jual dan menghasilkan pendapatan finansial yang besar,” ungkap Fikri dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Minggu (5/10/2025).

Ia mencontohkan, kunjungan wisatawan ke Aya Sofia jauh melampaui batas kunjungan Borobudur (1.200 orang per hari) yang dibatasi demi konservasi. Fikri menekankan, tanpa riset yang cukup, narasi kekayaan budaya hanya akan menjadi sekadar slogan.

Baca juga: Fikri Faqih Imbau Pemerintah untuk Memperketat Pengawasan Terkait Study Tour

Dalam konteks pengelolaan cagar budaya di Indonesia, Fikri menyoroti dua persoalan utama yang berkaitan dengan kerangka regulasi dan anggaran. Kedua masalah tersebut kemudian dijabarkan menjadi beberapa poin.

Pertama, kata dia, mandat hukum yang tidak dijalankan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola di Pasal 97. Namun, amanat tersebut tidak pernah dilaksanakan selama 15 tahun (hingga 2025), sehingga menciptakan kelemahan tata kelola yang serius.

Kedua, imbuhnya, kewenangan pemerintah daerah yang masih kabur. Tidak adanya mandat formal yang kuat dari pemerintah pusat membuat pemerintah daerah (Pemda) kesulitan membentuk Dinas Kebudayaan atau mengalokasikan anggaran khusus.

“Akibatnya, banyak Pemda menggabungkan Dinas Kebudayaan dengan dinas lain. Kelemahan kewenangan ini berdampak pada intervensi daerah. Fikri mencontohkan Pemda bahkan tidak berani mengalokasikan anggaran untuk perbaikan kecil seperti pagar atau lampu di situs cagar budaya (misalnya Gedong Songo) karena takut menjadi temuan BPK,” jelas legislator Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini.

Ketiga adalah anggaran yang tidak proporsional. Menurut dia, alokasi dana untuk Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) dinilai tidak seimbang dan cenderung menurun. Padahal, lembaga tersebut mengelola 23 unit di seluruh Indonesia yang seharusnya diperkuat dengan tenaga ahli.

Baca juga: Banyak Kasus Siswa Keracunan MBG, Komisi X DPR Minta BGN Membuka Diri, Harus Kolaborasi dengan Pemda

Selain itu, Fikri juga mendesak agar konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan (carrying capacity) menjadi fokus utama dalam konservasi. Ia memperingatkan bahwa tanpa kajian teknokratis yang mendalam, cagar budaya akan rentan rusak akibat eksploitasi berlebihan.

“Pelestarian cagar budaya wajib disertai dengan rencana daya dukung dan daya tampung lingkungan (carrying capacity). Tanpa adanya rencana tersebut atau kajian teknokratis yang lebih rinci seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau konsep Ecoregion cagar budaya akan hancur,” tegas Fikri.

Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan prinsip konservasi. Pembatasan jumlah pengunjung, seperti yang diterapkan di Borobudur, disebut sebagai salah satu langkah menjaga daya dukung lingkungan.

Fikri juga mendesak agar persoalan kewenangan segera diselesaikan, termasuk melalui pemberian masukan terhadap Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), sehingga pemerintah daerah memiliki peran lebih besar dan kepedulian terhadap pelestarian budaya.(*)

Baca juga: Komisi X DPR Minta Kampus Hukum Pelaku dan Lindungi Korban soal Viralnya Kegiatan Maba Unsri

Admin: Sponsored Content
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved