Gaduh Whoosh, Menteri Koboy, dan Guru Menampar Murid: Di Mana Partai Politik?
Partai politik tak terlihat di tengah gaduhnya Whoosh, Menteri “Koboy” Purbaya vs pejabat lain, hingga kasus guru menampar murid.
Oleh: Luthfi Hasanal Bolqiah
- Pengajar Ilmu Politik di UPN “Veteran” Jakarta
- Peneliti di CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Fokus Kajian: Demokrasi, Perbandingan Politik, Ekonomi Politik, dan Politik Lingkungan.
TRIBUNNEWS.COM - Ketika publik ramai memperdebatkan proyek kereta cepat Whoosh, silang pendapat antara Menteri “Koboy” Purbaya dan pejabat lain, hingga kasus guru menampar murid dan bullying di sekolah, satu hal mencolok: semua bicara, kecuali para anggota dewan. Ya, di mana partai politik?
Dari proyek infrastruktur triliunan rupiah sampai krisis moral di sekolah, semuanya bersumber dari kebijakan publik—dan kebijakan publik adalah urusan politik. Tapi partai, yang seharusnya jadi jembatan antara warga dan negara justru tidak ada sikap resmi, tidak ada arah ide, hanya diam sambil berhitung kredit elektoral.
Partai kini seperti bayangan kekuasaan: selalu ada di pemerintahan, tapi tak pernah hadir dalam perdebatan. Hidup di pusat kekuasaan, tapi mati di ruang publik.
Koalisi Tanpa Oposisi, Partai Tanpa Kader dan Politik Tanpa Ide
Sejak pemilu serentak 2019—dan makin diperkuat di 2024—intensitas konflik antarpartai memang menurun. Tapi bukan karena mereka makin dewasa, melainkan makin pragmatis. Pemilu serentak memaksa partai berkoalisi sejak awal, bukan karena kesamaan ide, tapi demi tiket calon presiden.
Menurut data KPU dan kajian elektoral, mayoritas kepala daerah kini diusung koalisi tiga partai atau lebih—tingkat tertinggi sejak reformasi. Di atas kertas, ini terlihat efisien. Tapi di balik efisiensi itu, kompetisi ideologis mati perlahan.
Koalisi besar mengubah fungsi partai: dari arena pertarungan gagasan menjadi ruang bagi pembagian kursi dan proyek. Kritik terhadap pemerintah bukan lagi sikap politik, melainkan risiko bisnis.
Inilah yang disebut Katz dan Mair (1995) sebagai cartel party system—partai-partai yang berhenti mewakili rakyat dan memilih bersekongkol menjaga status quo. Dalam sistem semacam ini, partai bukan jembatan antara masyarakat dan negara, melainkan bagian dari negara itu sendiri.
Kerusakan paling kentara terlihat dari cara partai mencari suara. Bukan lewat ide, tapi lewat figur. Fenomena kader Nasdem gabung PSI jelas menunjukan perebutan tokoh publik alih-alih ideologis. Partai bukan lagi penghasil pemimpin, tapi pembeli ketenaran. Di era serba visual, ideologi diganti algoritma.
Survei Lembaga Survei Indonesia (2024) sebelumnya menunjukkan 64 persen pemilih menentukan pilihan berdasarkan figur capres, bukan partai pengusungnya. Efek ekor jas (coattail effect) kini terbalik: bukan partai yang mengangkat kandidat, tapi kandidat yang menyelamatkan partai dari ambang batas parlemen.
Akibatnya fatal. Loyalitas tak lagi dibangun di atas gagasan, tapi pada siapa yang memberi tiket. Partai kehilangan memori kolektif, kehilangan akar ideologis. Nasionalis, religius, populis—semuanya kini cuma label kosong. Yang tersisa hanyalah warna logo dan gaya bicara.
Kita tidak sedang hidup dalam sistem multipartai yang sehat, tapi dalam pasar multi-brand politics: banyak merek, satu isi. Semua menjual citra, tak satu pun menawarkan arah.
Demokrasi Stabil tapi Lumpuh
Bagi elite, kondisi ini tampak ideal. Hampir semua partai kini duduk manis di pemerintahan Prabowo–Gibran. Oposisi? Hanya PDI-P, itu pun lebih sibuk mengkritik Jokowi ketimbang menyoal kebijakan hari ini. Tak ada pertarungan gagasan, hanya sisa dendam politik yang basi.
Demokrasi kita stabil, tapi lumpuh. Stabil karena tak ada oposisi berarti tak ada konflik terbuka; lumpuh karena tak ada yang mengawasi kekuasaan. DPR kehilangan giginya, kehilangan wibawanya.
Rapat-rapat penting berakhir dengan tepuk tangan seremonial, bukan perdebatan tajam. Kebijakan kontroversial—dari tunjangan pejabat sampai etika publik—jarang ditantang secara serius. Parlemen kini lebih mirip ruang resepsi kekuasaan ketimbang arena pertarungan ide.
| Sikap Tegas KPK Usai Prabowo Bilang Tanggung Jawab Proyek Whoosh: Penyelidikan Tetap Jalan |
|
|---|
| Sosok 5 Kakak Perempuan Gusti Purbaya, Ada yang Sudah Meninggal, Saudari Kandung KGPH Mangkubumi |
|
|---|
| Deklarasi Gusti Purbaya Dinilai Terlalu Dini, Jubir Tedjowulan Ingatkan Kesepakatan Kerabat Keraton |
|
|---|
| Soal Whoosh, Ketua Komisi V DPR Bilang Kepala Negara Tentu Harus Tanggung Jawab |
|
|---|
| 5 Fakta Deklarasi KGPAA Hamangkunegoro Jadi Raja Solo: Dulu Ditolak, Kini Langkahnya Dinilai Cerdas |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.