Minggu, 9 November 2025

Gaduh Whoosh, Menteri Koboy, dan Guru Menampar Murid: Di Mana Partai Politik?

Partai politik tak terlihat di tengah gaduhnya Whoosh, Menteri “Koboy” Purbaya vs pejabat lain, hingga kasus guru menampar murid.

|
Editor: Content Writer
Istimewa
PERAN PARTAI POLITIK - Pengajar Ilmu Politik di UPN “Veteran” Jakarta dan peneliti di CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Luthfi Hasanal Bolqiah. Partai politik tak terlihat di tengah gaduhnya Whoosh, silang pendapat antara Menteri “Koboy” Purbaya dan pejabat lain, hingga kasus guru menampar murid. 

Inilah yang disebut Dan Slater (2018) sebagai democratic decay: demokrasi yang terus hidup tapi kehilangan fungsi korektifnya. Semua aktor politik tampak akur, tapi hanya karena mereka sibuk menjaga kenyamanan masing-masing. Stabilitas jadi topeng, sementara kritik mati perlahan.

Politik Keluar dari Institusinya

Ketika partai bungkam, ruang politik berpindah tangan. Debat publik kini berlangsung di media sosial, bukan di parlemen. Polemik Whoosh? Akademisi, ekonom, dan relawan Jokowi berdebat di TikTok dan X, sementara partai diam.

Politik kini dijalankan oleh influencer, buzzer, dan pengamat—bukan partai. Kita sedang hidup dalam era post-party politics: ketika wacana publik dikuasai algoritma, bukan ideologi.

Risikonya jelas: polarisasi dangkal, hoaks, dan moral panic menggantikan diskusi rasional. Tanpa partai yang hidup, politik berubah jadi teater digital: gaduh di layar, kosong di lembaga.

Konflik antarkementerian—seperti kisruh Menkeu Purbaya atau tarik-ulur antara pusat dan tokoh lokal seperti Dedi Mulyadi—menunjukkan lemahnya disiplin politik. Pejabat publik kini tunduk pada patron, bukan pada partainya. 

Samuels dan Shugart (2010) menyebutnya presidentialized parties: ketika partai kehilangan otonomi, dan presiden jadi pusat gravitasi semua kekuasaan. Presiden kini bukan lagi produk partai, tapi sebaliknya: partai-partai besar jadi satelit di orbit presiden.

Akibatnya, politik kehilangan keseimbangan vertikal. Presiden memegang segalanya, partai berubah jadi operator administratif, dan rakyat kehilangan saluran representasi. Dalam teori klasik Giovanni Sartori (1976), partai adalah transmission belt—sabuk penghubung antara negara dan warga. Tapi sabuk itu kini putus.

Kritik datang dari kampus, jurnalis, dan masyarakat sipil; bukan dari partai. Demokrasi masih berjalan, tapi tanpa jantungnya. Demokrasi yang kehilangan partai ibarat orkestra tanpa konduktor: ramai, tapi tanpa arah.

Jika keadaan ini dibiarkan, demokrasi akan kehilangan ruhnya. Reformasi hukum pemilu tak cukup. Kita memerlukan reformasi kesadaran—bahwa partai bukan sekadar mesin kekuasaan, tapi sekolah bagi warga negara. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi ritual lima tahunan: riuh di jalan, tapi sunyi di parlemen.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved