RUU KUHAP
Aksi di Depan DPR, Ini Alasan Koalisi Sipil Tantang Debat Habiburokhman Bahas Revisi KUHAP
Ketua YLBHI Arif Maulana menjelaskan alasan koalisi warga sipil menantang debat para DPR dalam proses penyusunan pasal-pasal dalam Revisi KUHAP.
Penulis:
Reza Deni
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menjelaskan alasan koalisi warga sipil menantang debat para pemangku kebijakan dalam proses penyusunan pasal-pasal dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurutnya, warga sipil tak ingin penyusunan Revisi KUHAP sebatas soal substansi materi.
"Tetapi juga soal prosesnya. Ini penting, kenapa? Karena mana mungkin kita bisa menghasilkan undang-undang yang berkualitas, pasal-pasal yang menjamin, ya, kasus-kasus seperti salah tangkap, ya, kasus-kasus seperti rekayasa kasus, kemudian kasus pemerasan oleh aparat penegak hukum, kasus kriminalisasi, kasus penyiksaan, itu bisa diatur secara baik dan dicegah supaya tidak terjadi," kata Arif di depan Gerbang Pancasila, DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (14/7/2025).
Dia berpandangan ketika kemudian proses penyusunannya sangat ugal-ugalan, terburu-buru, tidak cermat, tidak hati-hati, mana mungkin ada produk UU yang baik.
"Kita ambil aja satu contoh, misalkan kasus-kasus salah tangkap itu banyak sekali, kasus-kasus penyiksaan juga banyak sekali," kata dia.
Baca juga: RUU KUHAP Dikebut, Habiburokhman Tolak Temui Pendemo di Gerbang DPR
Dalam catatan YLBHI, dikatakan Arif, kasus penyiksaan dan kriminalisasi terus meningkat
"Riset kami yang terbaru 2019 sampai 2025, itu ada 154 kasus dengan 1097 korban kriminalisasi. Itu terdiri dari warga negara, dari berbagai latar belakang. Ada mahasiswa, ada jurnalis, ada akademisi, ya, ada petani, nelayan, ada aktivis, dan lain sebagainya. Itu terjadi, teman-teman," tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa ketentuan mengenai hak tersangka untuk memilih kuasa hukum dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) justru merupakan salah satu pasal yang paling progresif.
Dia membantah anggapan yang menyebutkan bahwa RUU KUHAP mengabaikan hak tersangka dalam memilih pendamping hukum.
Baca juga: Dihapus DPR, Komnas Perempuan Tetap Usul Larangan MA Beri Vonis Lebih Berat di RUU KUHAP
“Lalu, disebut bahwa tersangka, orang bermasalah dengan hukum, tidak bisa memilih kuasa hukum. Padahal ini pasal yang paling progresif,” kata Habiburokhman dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (11/7/2025).
Menurut dia, tudingan bahwa RUU KUHAP mengarah pada legitimasi praktik "kuasa hukum formalitas" atau pocket lawyer sama sekali tidak berdasar.
Justru sebaliknya, RUU KUHAP memberikan jaminan hukum yang kuat dan eksplisit terhadap hak tersangka untuk memilih pendamping hukumnya sendiri.
“Tempat jaminan hak memilih kuasa hukum sendiri tidak dijamin dalam KUHAP lama. Rentan melegitimasi praktik kuasa hukum formalitas atau pocket lawyer,” katanya.
Habiburokhman menegaskan bahwa dalam KUHAP lama tidak ada ketentuan yang secara eksplisit memberikan perlindungan bagi tersangka untuk memilih kuasa hukum.
Sementara dalam RUU KUHAP, hak tersebut ditegaskan secara rinci.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.