MK Pernah Tegaskan Wamen tak Boleh Rangkap Jabatan Lewat Putusan Tahun 2019
Larangan dari Mahkamah Konstitusi terkait rangkap jabatan wakil menteri (wamen) disinggung dalam sidang pengujian Undang-Undang 39/2008
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA - Larangan dari Mahkamah Konstitusi (MK) terkait rangkap jabatan wakil menteri (wamen) disinggung dalam sidang pengujian Undang-Undang 39/2008 tentang Kementerian Negara pada Kamis (17/7/2025).
Hal itu termuat dalam dokumen putusan sidang Perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025 yang baru saja berlangsung di Gedung MK, Jakarta.
"Dengan adanya penegasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, maka terang bahwa wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU 39/2008," dikutip dari isi dokumen itu melalui lama resmi MK.
Perkara 80 itu dimohonkan oleh Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Bayu Segara dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Novan Laliatthul Rizky.
Mereka juga menguji UU Kementerian Negara yang pada akhirnya tidak dapat diterima oleh MK.
Namun dalam pertimbangan hukumnya, hakim konstitusi kala itu menegaskan ihwal rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara berlaku pula bagi wamen.
Terkini, UU Kementerian Negara kembali digugat Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy Roringkon dalam perkara Nomor 21 yang putusannya baru saja dibacakan oleh MK.
Juhaidy menilai sejumlah pasal dalam UU Kementerian bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan ia merasa dirugikan karena tidak adanya larangan bagi wamen untuk rangkap jabatan.
Namun MK juga tidak menerima permohonan Juhaidy.
Sebab ia telah meninggal dunia.
Baca juga: MK Tolak Permohonan Gugat Rangkap Jabatan Wamen karena Pemohon Telah Meninggal Dunia
"Perkara Nomor 21 tahun 2025, berkenaan dengan kedudukan hukum para pemohon, Mahkamah mendapatkan bukti bahwa pemohon Juhaidy Rizaldy Roringkon telah meninggal dunia," kata hakim Saldi Isra di ruang sidang MK, Jakarta.
Oleh karena itu menurut Mahkamah, berkenaan dengan kedudukan hukum pemohon yang telah meninggal dunia tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut.
Sebab syarat anggapan kerugian hak konstitusional yang dimiliki oleh pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang di MK harus relevan dan berkesinambungan dengan keberadaan pemohon.
"Mengingat syarat lain yang juga harus dipenuhi untuk dapat diberikan kedudukan hukum bagi pemohon adalah apabila permohonan dikabulkan maka anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami oleh pemohon tidak lagi terjadi atau tidak akan terjadi," tegas Saldi.
Dengan demikian dikarenakan pemohon telah meninggal dunia maka seluruh syarat anggapan kerugian yang didalilkan dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi.
24 Tokoh Antikorupsi Ajukan Amicus Curiae ke MK, Soroti Pasal Korupsi yang Dinilai Salah Arah |
![]() |
---|
Mantan Kepala BAIS: Kejaksaan Tak Punya Kewenangan Super Power, Perannya Koordinatif |
![]() |
---|
Ahli Hukum UI: Jaksa Tak Punya Imunitas Absolut, Tapi Perlu Perlindungan dari Kriminalisasi |
![]() |
---|
BP Haji Jadi Kementerian Haji dan Umrah, Menkum: Tak Perlu Revisi UU Kementerian Negara |
![]() |
---|
Jika MK Kabulkan Gugatan Rangkap Jabatan pada Sidang Lusa, 30 Wamen Tak Lagi Jabat Komisaris BUMN |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.