Senin, 11 Agustus 2025

Revisi KUHAP

Komisi III DPR Bakal Undang KPK, Habiburokhman Tegaskan RUU KUHAP Tak Lemahkan Pemberantasan Korupsi

Komisi III DPR RI memastikan akan memanggil KPK untuk membahas sejumlah isu krusial dalam draf RUU KUHAP. Pastikan tak lemahkan pemberantasan korupsi

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Fersianus Waku
REVISI KUHAP - Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman di Jakarta belum lama ini. Ia memastikan RUU KUHAP tak lemahkan pemberantasan korupsi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI memastikan akan memanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membahas sejumlah isu krusial dalam draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan komitmennya untuk menyerap aspirasi masyarakat secara luas, termasuk dari lembaga antirasuah.

"Dalam penyusunan RUU KUHAP ini, kami berikhtiar menyerap aspirasi semua pihak semaksimal mungkin, termasuk dari KPK," kata Habiburokhman kepada wartawan, Rabu (23/7/2025).

Politikus Partai Gerindra itu juga menepis anggapan bahwa revisi KUHAP dimaksudkan untuk melemahkan pemberantasan korupsi.

"Tentu saja kami tidak ingin RUU KUHAP melemahkan pemberantasan korupsi," ujar Habiburokhman.

Baca juga: Demo Tolak RUU KUHAP, Koalisi Sipil: Paradigmanya Masih Otoriter 

Tak Hapus Lex Specialis KPK

Habiburokhman menegaskan RUU KUHAP tidak menghapus sifat lex specialis dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) maupun Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

"Tidak benar bahwa KUHAP menghilangkan sifat lex specialis UU Tipikor dan UU KPK," kata Habiburokhman.

Lex specialis adalah asas dalam hukum yang menyatakan bahwa aturan yang lebih khusus (lex specialis) mengesampingkan aturan yang lebih umum (lex generalis).

Baca juga: Dukung Pengesahan RUU KUHAP, HAPI Dorong Penguatan Perlindungan Hukum dan Standarisasi Advokat di RI

Artinya, jika ada dua aturan hukum yang mengatur hal yang sama, namun satu aturan lebih spesifik, maka aturan yang lebih spesifik itulah yang berlaku. 

Menurut Habiburokhman, RUU KUHAP justru memperkuat posisi lembaga antirasuah itu dalam sistem peradilan pidana. 

Hal itu tercermin dalam Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP yang menyatakan, “Ketentuan dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk melaksanakan tata cara peradilan pidana terhadap seluruh tindak pidana, kecuali diatur lain dalam Undang-Undang.”

"Sehingga KPK dapat bekerja sesuai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi," ujar Habiburokhman.

Karena itu, dia memastikan bahwa Komisi III DPR akan mengalokasikan waktu untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama KPK dan aktivis antikorupsi.

"kami akan mengalokasikan waktu Raker atau RDPU dengan KPK dan Aktivis antikorupsi untuk membahas masukan terkait RUU KUHAP," tutur Habiburokhman.

Agenda tersebut, kata Habiburokhman, akan dilaksanakan pada masa persidangan yang akan datang.

"Agenda tersebut akan dilaksanakan pada masa persidangan mendatang, sebelum dilanjutkannya kerja tim perumus dan tim sinkronisasi," ucap Habiburokhman.

KPK melayangkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan DPR untuk meminta audiensi terkait pembahasan RUU KUHAP.

Langkah itu diambil sebagai respons atas kekhawatiran lembaga antirasuah terhadap sejumlah pasal dalam draf RUU KUHAP yang dinilai berpotensi mengurangi kewenangan khusus KPK dalam pemberantasan korupsi.

Kekhawatiran utama KPK adalah potensi degradasi asas lex specialis (kekhususan hukum) yang melekat pada Undang-Undang KPK

Sejumlah pasal dalam RUU KUHAP yang menurut KPK dapat menjadi pintu masuk bagi para tersangka korupsi untuk lepas dari jerat hukum.

Berikut adalah daftar 17 poin catatan kritis KPK terhadap RUU KUHAP atau RKUHP:

1. Ancaman terhadap Asas Lex Specialis: Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".

2. Keberlanjutan Penanganan Perkara: Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.

3. Penyelidik KPK Tidak Diakomodir: RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.

4. Penyempitan Definisi Penyelidikan: RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.

5. Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal: RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.

8. Birokrasi Baru Penyerahan Berkas: RKUHAP mengindikasikan penyerahan berkas perkara harus melalui penyidik Polri, bertentangan dengan UU KPK yang mengatur pelimpahan langsung dari penyidik KPK ke penuntut umum KPK.

9. Pembatasan Wewenang Penggeledahan: RKUHAP membatasi penggeledahan hanya pada tersangka dan mewajibkan pendampingan penyidik Polri dari yurisdiksi setempat, menggerus wilayah hukum penyidik KPK yang bersifat nasional.

10. Izin Penyitaan dari Pengadilan: RKUHAP mewajibkan izin Ketua Pengadilan Negeri untuk penyitaan, bertentangan dengan praktik KPK yang hanya perlu memberitahukan kepada Dewan Pengawas.

11. Izin Penyadapan dari Pengadilan: RKUHAP mensyaratkan izin Ketua PN untuk penyadapan dan hanya boleh dilakukan saat penyidikan. Ini menghapus kewenangan KPK menyadap sejak penyelidikan tanpa izin pengadilan.

12. Pembatasan Pencegahan ke Luar Negeri: RKUHAP membatasi larangan bepergian ke luar negeri hanya untuk tersangka, padahal KPK seringkali perlu mencegah saksi atau pihak terkait lainnya.

13. Proses Praperadilan Menghambat Sidang Pokok Perkara: RKUHAP mengatur pokok perkara korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan berlangsung, bertentangan dengan asas peradilan cepat dan sederhana.

14. Kewenangan Perkara Koneksitas Tak Diakomodir: Kewenangan KPK untuk mengoordinasikan dan mengendalikan perkara koneksitas (melibatkan sipil dan militer) yang telah dikuatkan putusan MK tidak diatur dalam RKUHAP.

15. Monopoli Perlindungan Saksi oleh LPSK: RKUHAP seolah menyerahkan perlindungan saksi hanya kepada LPSK, mengabaikan kewajiban dan hak KPK untuk melindungi saksi dan pelapornya sendiri.

16. Penuntutan Lintas Wilayah Dihambat: RKUHAP mewajibkan penuntut umum mendapat surat pengangkatan sementara dari Jaksa Agung untuk menuntut di luar daerah hukumnya, bertentangan dengan wewenang penuntut KPK yang berlaku di seluruh Indonesia.

17. Ambiguitas Status Penuntut Umum KPK: Definisi Penuntut Umum dalam RKUHAP dinilai berpotensi tidak secara eksplisit mengakui penuntut yang diangkat oleh KPK.

Sosok Ketua Komisi III DPR Habiburokhman

Habiburokhman SH MH adalah Ketua Komisi III DPR RI yang ditetapkan dalam rapat anggota komisi III DPR dan Pimpinan DPR pada Selasa 22 Oktober 2024.

Ia merupakan anggota DPR RI dari fraksi Partai Gerindra periode Periode 2019-2024 dan 20224-2029.

Habiburokhman terpilih menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 2019 dan 2024 dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta I yang meliputi wilayah Jakarta Timur.

Sebelum menjadi politikus Senayan, pria kelahiran Metro, Lampung, 17 September 1974 merupakan seorang aktivis saat masih menjadi mahasiswa.

Jebolan S1 Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) tahun 1999 ini saat menjadi mahasiswa aktif di berbagai organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Senat Mahasiswa FH Unila dan Keluarga Mahasiswa Pemuda Pelajar Lampung (KMPPRL).

Di era 1998-an Habiburokhman dikenal sebagai aktivis Mahasiswa yang giat memimpin demo menuntut Presiden Soeharto mundur.

Bahkan karena sikap kritisnya, Habiburokhman sempat beberapa kali ditangkap dan ditahan pihak berwajib.

Ia diketahui mendapat gelar magister atau S2 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada 2013 dan mendapat gelar doktor atau S3 dari Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret pada 2023.

Setelah menyelesaikan pendidikan S1, ia pun menjadi advokat dan mendirikan Kantor Hukum Bisnis Habiburokhman & Co yang berkedudukan di Menteng Jakarta Pusat.

Tahun 2010 Habiburokhman pun bergabung dengan Partai Gerindra dan menempati jabatan sebagai Ketua Bidang Advokasi dan sekaligus anggota Dewan Pembina hingga terpilih menjadi anggota DPR RI untuk pertama kali pada Pemilu 2019.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan