Kematian Vian Ruma Aktivis Lingkungan di Flores Dinilai Janggal, DPR Desak Aparat Usut Tuntas
Andreas Hugo Pareira mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas kematian aktivis lingkungan asal Pulau Flores NTT, Vian Ruma.
Penulis:
Wahyu Gilang Putranto
Editor:
Endra Kurniawan
Kepala SMPN 1 Nangaroro, Edith Ana Oko Pawe membenarkan Vian Ruma mengajar di sekolahnya.
Ia juga menyebut, Vian Ruma selama hidupnya dikenal baik dan tidak terlihat sebagai sosok bermasalah.
"Setahu saya dan pengamatan kami di sekolah itu beliau baik-baik saja dan termasuk guru yang baik di sekolah itu."
"Di sekolah juga aman-aman dengan saya dan semua guru, tidak ada persoalan apa-apa," kata Edith.
Tentang Proyek Geotermal

Pada 2017 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Flores sebagai Geothermal Island melalui SK No. 2268 K/30/MEM/2017 oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan.
Pulau Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi atau "Flores Geothermal Island" pada tanggal 19 Juni 2017.
Dikutip dari laman Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Flores mencapai sekitar 800 MW.
Proyek pertama yang dikembangkan di Pulau Flores adalah wilayah Waisano atau juga disebut Wae Sano.
Waisano dipilih berdasarkan hasil survei Badan Geologi (Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi) yang telah dianalisis sebelumnya oleh tenaga ahli World Bank.
Dana yang digunakan untuk mengembangkan Waisano adalah dengan menggunakan dana Geothermal Fund. Dana tersebut berasal dari dana hibah World Bank dan APBN mencapai Rp 3 Triliun.
Proyek-proyek lainnya antara lain PLTP Mataloko (Ngada), dan PLTP Sokoria (Ende).
Penolakan Proyek
Sementara itu penolakan terhadap proyek geotermal di Flores, NTT, terus menggema hingga tahun 2025.
Seperti penolakan yang disampaikan Keuskupan Ende.
Uskup Agung Ende, Mgr. Paul Budi Kleden, menegaskan penolakan terhadap proyek geotermal di wilayah Keuskupan Agung Ende yang mencakup Kevikepan Ende, Mbay, dan Bajawa.
Dikutip dari Tribun Flores, dalam pernyataan video berdurasi 1 menit 5 detik pada 10 Januari 2025, Ia menyatakan sikap setelah mendengar kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko, serta berdiskusi dengan imam-imam di wilayah tersebut.
“Penting bagi umat dan masyarakat untuk turut menyuarakan penolakan terhadap proyek ini. Kita perlu mendorong resistensi melalui informasi yang jelas dan kesaksian masyarakat yang telah merasakan dampaknya,” tegas Mgr Paul Budi Kleden.
Mgr. Kleden menegaskan komitmen menjaga kepentingan masyarakat lokal serta memperingatkan bahwa proyek geotermal berpotensi merusak ekosistem dan kehidupan sosial warga.
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunflores.com dengan judul Penemuan Mayat di Tonggo Nagekeo, Kaki Korban Menyentuh Bale-Bale.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Endra Kurniawan) (Tribunflores.com/Albert Aquinaldo)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.