Soleman Ponto Kritik Terkait Ribuan Polri di Jabatan Sipil, Begini Kata Haidar Alwi
Pengamat kebijakan publik Haidar Alwi mengatakan keterangan Ponto tersebut berpotensi membenturkan Polri dengan TNI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto mengkritisi terkait ribuan polisi yang merangkap jabatan sipil. Menurut Ponto, terdapat 4.351 (polisi yang duduk di jabatan sipil).
Keterangan tersebut disampaikan Ponto saat menjadi ahli dalam uji materi tentang Polri terkait rangkap jabatan dengan nomor perkara 114/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi pada 15 September 2025.
Soleman Ponto, mengatakan, ribuan polisi yang merangkap jabatan sipil menghilangkan kesempatan warga sipil untuk mendapatkan pekerjaan dan berkontribusi dalam jabatan sipil di pemerintahan.
Pengamat kebijakan publik Haidar Alwi mengatakan keterangan Ponto tersebut berpotensi membenturkan Polri dengan TNI. Hal itu karena prajurit TNI juga ada yang menduduki jabatan sipil
"Kenyataan bahwa di tubuh TNI sendiri terdapat 4.472 prajurit yang juga ditugaskan di berbagai instansi sipil," kata Haidar Alwi dalam keterangannya, Kamis (9/10/2025).
Haidar mengatakan penugasan lintas struktur bukan pelanggaran, melainkan mekanisme resmi negara untuk menempatkan personel dengan kompetensi khusus di sektor strategis.
Baca juga: Soleman B Ponto Tegaskan TNI Awasi Ketat Lokasi Ledakan Amunisi, Singgung Kedekatan TNI dan Warga
"Bila fenomena ini diterima sebagai hal yang wajar di lingkungan TNI, mengapa tiba-tiba menjadi masalah besar ketika terjadi di Polri? Sikap seperti ini bukan hanya tidak objektif, tapi juga membangun persepsi timpang seolah-olah TNI steril dan Polri bermasalah," ujar Haidar Alwi.
Menurut Haidar, pernyataan publik dari seorang mantan pejabat intelijen senior membawa pengaruh besar terhadap opini masyarakat.
Ketika narasi itu tidak didasarkan pada keseimbangan data, ia menjadi bahan bakar bagi polarisasi dan gesekan antar-institusi. Di tengah upaya negara menjaga soliditas TNI-Polri sebagai dua pilar pertahanan dan keamanan nasional, framing seperti ini justru menabur benih ketegangan yang berpotensi mengganggu keharmonisan kelembagaan.
"Dengan kata lain, apa yang disampaikan Ponto bukan sekadar kritik, tetapi retorika yang berisiko merusak," kata Haidar Alwi.
Menurutnya, kritik memang perlu, namun harus lahir dari integritas dan intelektual, bukan motif emosional atau politik. Ketika seorang mantan Kepala BAIS mengabaikan keseimbangan fakta, maka kredibilitas argumennya runtuh di hadapan logika publik.
"Apalagi jika kritik tersebut hanya ditujukan pada satu institusi, sementara fakta serupa di institusi lain sengaja diabaikan. Itu bukan bentuk kepedulian, melainkan penggiringan opini," lanjut Haidar Alwi.
Soleman Ponto mungkin bermaksud tampil sebagai pengawas moral atas institusi Polri. Namun cara yang ia pilih menyerang Polri dengan tudingan sepihak tanpa dasar perbandingan yang adil, justru mengungkap maksud terselubung.
Kritiknya kehilangan karakter, tujuan, dan berubah menjadi serangan retoris yang lebih cenderung memecah-belah daripada memperbaiki. Dalam konteks negara yang masih memperjuangkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan keamanan, pernyataan seperti itu bukan hanya tidak produktif, tapi juga berbahaya.
"Kritik yang adil membangun kepercayaan. Kritik yang bias membangun perpecahan. Dan sayangnya, apa yang disampaikan Soleman Ponto lebih mendekati yang kedua," pungkas Haidar Alwi.
Aktivis yang Terobos Rapat RUU TNI di Fairmont Tak Terima MK Sebut DPR Tak Langgar Aturan |
![]() |
---|
MK Minta Polri dan Kemenhub Hadirkan Fasilitas Lalu Lintas Ramah Penyandang Buta Warna |
![]() |
---|
Bamsoet Ingatkan Pentingnya MK kembali ke Jalur Kosntitusional Sebagai Negative Legislator |
![]() |
---|
Sosok Pemohon Putusan MK Sehingga Ferry Irwandi Tidak Bisa Dilaporkan TNI: Aktivis, Korban UU ITE |
![]() |
---|
Tak Cuma Gibran, Subhan Pernah Gugat Anies Baswedan ke MK soal Capres Harus WNI |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.