Kasus Disinformasi dan Hoaks Menyasar Sektor Energi Setahun Terakhir, Masyarakat Diminta Waspada
Mafindo mengungkapkan, modus penipuan digital (scam) juga berkembang pesat dengan pola yang makin canggih.
”Memang kasus itu sudah diverifikasi media lain. Maka, Mafindo juga segera melakukan verifikasi terhadap berita itu secepatnya supaya bisa masuk dalam program Turn Back Hoax kami,” lanjut Loina.
Karena maraknya hoaks, scam, dan deepfake itulah, Loina menyarankan agar setiap masyarakat selalu melakukan verifikasi jika menemukan informasi yang meragukan.
Caranya, pertama, dengan masuk ke mesin pencari Google untuk memeriksa informasi tersebut. Menurut Loina, upaya tersebut cukup mudah. Apalagi, di Google terdapat label khusus untuk informasi hoaks dan sesat.
Kedua, bisa dengan memeriksa informasi website para lembaga pemeriksa fakta seperti Mafindo, Cek Fakta, atau Kementerian Komdigi. Dan ketiga, kata Loina, bisa dengan memeriksa langsung ke website atau hotline perusahaan yang menjadi sasaran hoaks.
Riset Mafindo
Sebelumnya, Mafindo melaporkan, sebanyak 1.593 kasus hoaks atau berita bohong di Indonesia selama tahun pertama Prabowo-Gibran. Hasil tersebut didapat dari riset yang dilakukan dalam kurun waktu 21 Oktober 2024 hingga 17 Oktober 2025.
Dari total kasus yang ditemukan, 773 atau 48,5 persen di antaranya merupakan tema politik. Target dari hoaks bertema politik itu paling banyak menyasar pemerintah dengan 374 temuan dan pemerintah asing dengan 126 temuan.
Mafindo juga menyebut, salah satu tren menonjol adalah scam yang mengatasnamakan BUMN seperti Pertamina, PLN, dan Telkom.
Menyikapi laporan Mafindo, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengingatkan, bahwa pembuat dan penyebar hoaks bisa diancam hukuman pidana. Termasuk hoaks yang menyasar pada BUMN seperti Pertamina.
Dasar hukumnya jelas. Kalau hoaks disebarkan melalui internet, kata Fickar, bisa dikenakan Pasal 28 E, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
”Ancamannya tinggi, enam tahun penjara. Artinya, kalau orang kena itu, bisa ditahan lebih dulu,” kata Fickar.
Di samping itu, kata Fickar, jika penyebaran hoaks dilakukan tanpa melalui internet, pelaku juga bisa dikenakan ancaman Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik. ”Yang ini ancaman lebih rendah, empat tahun,” lanjutnya.
Terkait penyebaran hoaks melalui internet, Fickar menyebut, saat ini institusi kepolisian sudah memiliki polisi siber, baik di tingkat Mabes maupun Polda. Dalam hal ini, aparat bisa mendeteksi dan melakukan penindakan.
Penegakan hukum diperlukan, untuk membuat terapi dan sebagai upaya pencegahan agar masyarakat tidak ikut-ikutan menyebar hoaks. ”Apalagi ini bukan delik aduan,” kata dia.
Dalam kaitan itu, Fickar mengimbau agar masyarakat lebih berhati-hati. Selalu cek dan ricek mengenai kebenaran informasi yang diperoleh. Sebab, jika turut memposting ulang informasi hoaks, mereka juga bisa terkena konsekuensi hukum.
”Jangan sembarangan menyebarkan, kecuali konten lucu. Untuk konten serius ada konsekuensi hukum. Salah-salah bisa dipenjara,” pungkas Fickar.
| Pemkab Bogor Dorong Profesionalisme Damkar, Tanamkan Semangat Nasionalisme dalam Pelayanan Publik |
|
|---|
| 26 Organisasi Gugat Pasal OMSP, Soal Perbantuan Pemda, dan Peradilan Militer dalam UU TNI ke MK |
|
|---|
| Setahun Berdampak: EBT Jadi Bukti Nyata Arah Baru Energi Indonesia |
|
|---|
| Grab Dorong Ekonomi Sirkular dan Energi Terbarukan Lewat Lima Startup GVV Batch 8 |
|
|---|
| PGN Gagas Kembangkan CNG untuk Dukung Ketahanan Energi Nasional |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.