Demo di Jakarta
Sidang MKD, Ahli Sebut Viralnya Video Joget-joget Anggota DPR saat Sidang Tahunan Sudah Di-Framing
Ahli perilaku mengatakan aksi joget-joget anggota DPR yang viral di media sosial sudah di-framing oleh pihak tertentu sehingga tidak sesuai konteks.
Ringkasan Berita:
- Ahli perilaku, Gusti Aju Dewi, mengungkapkan video aksi joget-joget DPR saat Sidang Tahunan MPR sudah dibingkai atau di-framing oleh pihak tertentu.
- Dia mengatakan video tersebut telah ditambahkan narasi-narasi yang tidak sesuai konteks sebenarnya.
- Dewi menjelaskan konteks anggota DPR berjoget tersebut sebagai ekspresi bahagia menjelang HUT ke-80 RI.
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat perilaku atau grafolog, Gusti Aju Dewi, menganggap aksi joget-joget anggota DPR saat Sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus 2025 lalu, telah dibingkai atau di-framing pihak tertentu dengan narasi yang tidak sesuai fakta.
Adapun pernyataannya ini disampaikan saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2025).
Sementara pihak terlapor yang disidangkan adalah lima anggota DPR nonaktif yaitu Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, Ahmad Sahroni, serta Adies Kadir.
Mulanya, Dewi ditanya oleh anggota MKD sekaligus Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, terkait apakah aksi berjoget anggota DPR termasuk oleh Eko Patrio dan Uya Kuya yang viral tersebut, telah melanggar etika.
Momen anggota DPR berjoget itu, terjadi ketika orkestra dari Universitas Pertahanan (Unhan) memainkan lagu daerah asal Papua, Sajojo.
Lalu, dia menjelaskan bahwa sebenarnya konteks aksi berjoget para anggota DPR itu merupakan wujud kebahagiaan menjelang HUT ke-80 RI.
Baca juga: Ahmad Sahroni Sebut Orang Mau Bubarkan DPR adalah Tolol, Ahli di Sidang MKD: Bukan Ucapan Kriminal
Namun, Dewi mengatakan, video yang memperlihatkan aksi joget tersebut, telah diedit oleh pihak tertentu dan ditambahkan narasi yang tidak sesuai konteks.
"Dalam menganalisis perilaku adalah konteks dan waktu. Dari konteks, perilaku joget itu saat Sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus 2025 menjelang HUT RI ke-80."
"Namun yang saya perhatikan dari timeline, bahwa video tersebut kembali viral pada tanggal 19 Agustus. Yang menjadi pertanyaan, tidak tahu video itu yang pertama kali mengunggah, dan yang saya temukan adalah video itu pada 19 Agustus mulai viral dan disertai tempelan-tempelan narasi yang tidak sesuai konteks," ujarnya.
Menurutnya, video-video dengan tambahan narasi tidak sesuai konteks itu, menjadi wujud framing yang juga media mainstream, media sosial, dan mempengaruhi opini masyarakat.
Dewi mengungkapkan framing tersebut mampu menimbulkan persepsi berbeda terkait konteks dari suatu peristiwa.
"Dalam analisis perilaku, konteks itu adalah hal yang terkait erat dan tak terpisahkan," kata Dewi.
Ia mengatakan, fenomena semacam ini juga terjadi di negara lain di mana perilaku yang sebenarnya tidak melanggar aturan apapun bisa menjadi sebuah skandal ketika dibingkai atau dikemas dengan narasi yang berbeda.
Dewi mengungkapkan, narasi tertentu dalam sebuah konten dibuat demi memicu emosi publik.
Hal ini, sambungnya, bisa dideteksi dengan menggunakan kecerdasan artifisial atau artificial intelligence apakah emosi publik tersebut muncul secara alami atau memang sudah dikondisikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.