Minggu, 9 November 2025

Hakim MK Asrul Sani Ingin Tahu Alasan Pemohon Gugat UU TNI, Syamsul Tetap Ngotot

Sidang perdana uji materi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (7/11/2025),

|
Warta Kota/Yulianto
DEFILE PASUKAN - Prajurit TNI mengikuti defile pasukan saat upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Monas, Jakarta, Minggu (5/10/2025). Sidang perdana uji materi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (7/11/2025). 

"Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian normatif dan sistemik terhadap lembaga-lembaga yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (1) UU TNI, guna menentukan secara tegas mana yang termasuk bagian dari sistem pertahanan negara, sehingga konstitusional untuk ditempati oleh prajurit TNI aktif, dan mana yang bukan, sehingga penempatan tersebut menjadi inkonstitusional," tambah dia.

Gugatan Koalisi Masyarakat Sipil

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil kembali melayangkan gugatan ke MK terkait Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.

Setelah sebelumnya mengajukan uji formil, kali ini koalisi mengajukan uji materiil terhadap sejumlah pasal dalam UU tersebut.

Permohonan ini diajukan oleh lima organisasi masyarakat sipil, yakni Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI Indonesia, dan LBH APIK Jakarta.

Selain itu, terdapat pula tiga pemohon individu.

“Selain pemohon organisasi, terdapat juga tiga pemohon perseorangan, yakni: Ikhsan Yosarie, dosen sekaligus peneliti bidang pertahanan SETARA Institute. Dua pemohon lainnya ialah mahasiswa UGM atas nama M Adli Wafi dan M Kevin Setio Haryanto,” kata Arif Maulana saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).

Baca juga: TNI Siap Beri Keterangan di MK Terkait Pengujian UU TNI yang Baru, Panglima TNI akan Hadir?

Arif menjelaskan, UU TNI memuat sejumlah persoalan serius, baik dari sisi substansi maupun proses pembentukannya.

Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9, yang dinilai memberikan kewenangan kepada TNI untuk menangani aksi mogok dan konflik komunal.

Padahal, menurut Arif, hak untuk menyuarakan pendapat, termasuk mogok, dijamin dalam konstitusi.

“Pelibatan militer dalam menghadapi pemogokan pekerja berarti menempatkan tindakan sipil yang sah sebagai ancaman keamanan negara. Selain itu, frasa 'konflik komunal' dalam pasal tersebut bersifat multitafsir dan karet, karena tidak dijelaskan batasan hukumnya,” ucap dia.

Permasalahan lain yang disoroti adalah ketentuan mengenai operasi militer selain perang (OMSP) yang dinilai membuka celah penyalahgunaan wewenang dan mengaburkan kontrol sipil atas militer.

“Koalisi menilai pengaturan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil yang telah menjadi fondasi utama demokrasi pasca-reformasi 1998,” ucap dia.

Pasal 47 ayat (1) juga menjadi sorotan karena memberikan legitimasi bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang dinilai dapat mengganggu independensi lembaga-lembaga sipil.

Sementara itu, Pasal 53 yang mengatur perpanjangan usia pensiun perwira tinggi TNI dianggap berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam jenjang karier.

“Koalisi menilai pasal ini memperkuat feodalisme internal militer dan mengancam efektivitas struktur komando,” kata Arif.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved