Gelar Pahlawan Nasional
Bapak-Anak Kompak: Jokowi dan Gibran Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Sama-sama Ungkit Jasa
Untuk nama Soeharto, polemik dan pro-kontra melingkupi usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya. Jokowi dan Gibran kompak dukung.
Mereka menilai, Soeharto tidak layak menerima gelar tersebut karena rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktik korupsi, dan pembungkaman kebebasan sipil selama rezim Orde Baru.
Penolakan ini disampaikan dalam jumpa pers yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), LBH Pers, dan SAFEnet, sebagai bagian dari Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas), di Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025).
Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, menyebut dukungan DPR dan Menteri Kabinet terhadap gelar tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap akal sehat dan fakta sejarah.
“DPR buta dan tuli karena sama seperti menteri. Bukti-buktinya banyak. Ini mempermalukan dirinya sendiri,” kata Bayu.
Ia menegaskan bahwa secara moral dan historis, Soeharto tidak pantas dijadikan pahlawan nasional.
“Faktanya dia banyak kejahatannya. Kalau sebuah masa gelap tidak pernah diakui, maka akan terulang lagi,” ujarnya.
Bayu juga mengingatkan bahwa Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sendiri telah mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk tragedi 1965.
“Jokowi kan sudah mengakui ada 12 pelanggaran HAM dan itu termasuk 1965. Mau bukti apa lagi?” tukasnya.
Peneliti ELSAM, Octania Wynn, menyebut empat alasan utama mengapa Soeharto tidak layak diberi gelar pahlawan nasional.
- Jejak pelanggaran HAM berat.
- Pelanggaran prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.
- Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
- Tidak memenuhi syarat nilai kemanusiaan dan keteladanan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Octania juga menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pelanggaran HAM oleh Soeharto.
“Kami menilai itu bentuk tutup mata. Korban-korban HAM berat masa lalu masih bisa ditemui, misalnya di Aksi Kamisan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong, mendesak pemerintah untuk membuka proses peradilan HAM terhadap Soeharto.
“Bagaimana bisa terbukti kalau proses peradilannya enggak pernah dilakukan?” tegasnya.
Mustafa juga mengingatkan, TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 dan TAP MPR Nomor 4 Tahun 1999 secara eksplisit menyebut Soeharto sebagai subjek yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
“TAP ini masih berlaku sampai sekarang. Jadi tidak bisa serta-merta Fadli Zon atau negara menganggap bahwa ini tidak ada bukti,” pungkasnya.
(Tribunnews.com/Rizki A./Mario Christian S.) (TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.