Senin, 10 November 2025

Langkah Aman Membuat Video Promosi Tanpa Melanggar Hak Cipta

Tren promosi lewat video pendek kian digemari, namun penggunaannya tetap perlu memperhatikan hak-hak pencipta lain.

Editor: Content Writer
dok. DJKI
HAK CIPTA - Ilustrasi membuat video pendek. Tren promosi lewat video pendek kian digemari, namun penggunaannya tetap perlu memperhatikan hak-hak pencipta lain. (dok. DJKI) 

TRIBUNNEWS.COM – Promosi lewat video pendek kini kian digemari. Alasannya sederhana, format ini mampu menarik perhatian dengan cepat di tengah menurunnya rentang fokus audiens, mudah diakses melalui perangkat seluler, serta sejalan dengan algoritma media sosial yang cenderung memprioritaskan konten viral. Selain itu, video pendek juga mudah dibagikan, membutuhkan biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan video berdurasi panjang, dan terbukti efektif meningkatkan engagement.

Namun, di balik itu semua, ada satu hal penting yang kerap diabaikan, yakni hak cipta. Penggunaan musik, gambar, atau potongan video milik pihak lain tanpa izin bisa menimbulkan konsekuensi hukum. Risiko ini bahkan lebih besar untuk video promosi dibandingkan video pribadi, karena prinsip “penggunaan wajar” (fair use) umumnya tidak berlaku pada konten yang bersifat komersial.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, menegaskan pentingnya memahami aturan hak cipta sebelum mempublikasikan video promosi. Menurutnya, setiap elemen yang digunakan dalam konten berorientasi bisnis harus dipastikan legal dan tidak melanggar hak pencipta lain.

“Baik musik, visual, maupun suara harus diperhatikan keabsahannya. Penggunaan aset yang tidak sah berpotensi melanggar hak cipta dan pemilik hak dapat mengajukan somasi,” ujar Agung dalam keterangannya di Kantor DJKI, pada Senin (10/11/2025).

Agung juga menerangkan bahwa cara paling aman untuk membuat video promosi adalah dengan mengutamakan konten orisinal. Artinya, kreator sebaiknya merekam sendiri seluruh elemen video, memotret sendiri gambar diam yang dibutuhkan, dan menulis sendiri naskah promosi. Bila memerlukan musik, gunakan karya bebas royalti atau berlisensi komersial dari platform resmi seperti Epidemic Sound, Artlist, atau PremiumBeat. 

Royalty-free bukan berarti gratis. Biasanya cukup bayar lisensi sekali di awal untuk penggunaan berulang tanpa bayar royalti lagi,” jelasnya.

Kedua, bagi yang menggunakan stok visual, Agung mengingatkan agar tidak mengambil dari hasil pencarian Google. Gunakan platform resmi seperti Shutterstock, Adobe Stock, atau Getty Images, dan simpan bukti lisensi pembeliannya. 

“Kalau pakai stok gratis seperti Pexels atau Unsplash, baca dulu ketentuannya, karena beberapa foto tidak boleh dipakai untuk iklan,” tambahnya.

Baca juga: DJKI Soroti Pentingnya Pendaftaran Merek Usai Polemik Arc’teryx di Indonesia

Selain hak cipta, berikutnya kreator juga perlu memperhatikan hak privasi dan merek dagang. Jika video menampilkan wajah orang yang dapat dikenali, pastikan ada surat persetujuan model (model release). 

Bila syuting di lokasi pribadi seperti kafe atau toko, sebaiknya minta izin tertulis pemilik properti (property release). Sementara untuk merek lain yang muncul di video, seperti logo pada baju atau produk, sebaiknya diblur agar tidak menimbulkan kesan dukungan atau asosiasi palsu.

Kemudian, DJKI juga menyoroti tren penggunaan aset kecerdasan buatan (AI). Kreator disarankan membaca syarat penggunaan platform AI sebelum memakai hasilnya untuk promosi.  

“Hasil dari akun AI gratis biasanya tidak boleh digunakan secara komersial. Jadi pastikan langganannya mendukung izin komersial,” tutur Agung.

Lebih lanjut, ia mengingatkan pentingnya dokumentasi dan kebiasaan tertib administrasi dalam proses kreatif. Simpan bukti pembelian lisensi, surat izin model, atau kontrak dengan musisi lokal. Ini bukan sekadar formalitas, tapi bentuk perlindungan diri dan profesionalitas. 

Dengan menerapkan prinsip penggunaan aset legal, pelaku usaha dan kreator dapat melindungi reputasi, membangun kepercayaan publik, dan menciptakan lingkungan digital yang adil bagi semua pihak. Menurut Agung, kepatuhan terhadap hak cipta justru menambah nilai bagi sebuah usaha. 

“Konsumen kini makin cerdas dan peduli dengan keaslian sehingga usaha yang menghargai hak cipta biasanya juga lebih dipercaya dan punya citra profesional,” kata Agung.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved