Gelar Pahlawan Nasional
Polemik Gelar Pahlawan Nasional Soeharto, Ini 10 Dosa Besar Presiden ke-2 RI Menurut KontraS
KontraS mencatat 10 dosa besar pelanggaran HAM oleh Soeharto selama memimpin masa Orde Baru.
Ringkasan Berita:
- Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh, termasuk Presiden ke-2 RI, Soeharto.
- Pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Soeharto ini menimbulan pro-kontra.
- KontraS mencatat setidaknya ada 10 dosa besar Soeharto selama memimpin masa Orde Baru.
TRIBUNNEWS.com - Pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Presiden ke-2 RI, Soeharto, menuai polemik.
Pada Senin (10/11/2025), bertepatan Hari Pahlawan Nasional, Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar Pahlawan Nasional terhadap 10 tokoh Tanah Air, termasuk Soeharto.
Dikutip dari presidenri.go.id, pemberian gelar Pahlawan Nasional ini didasarkan pada Keputusan Presiden Nomo116/TK/2025 tanggal 6 November 2025, sebagai bentuk penghargaan negara atas jasa-jasa luar biasa para tokoh dalam mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Jauh hari sebelum pemberian gelar Pahlawan Nasional, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sudah melayangkan penolakan.
Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosaline Rumpia, menilai rekam jejak Soeharto yang kelam, membuatnya tak layak menyandang gelar Pahlawan Nasional.
Sebab, menurutnya, gelar Pahlawan Nasional adalah bentuk penghargaan tertinggi dari negara yang seharusnya diberikan kepada individu yang berjasa atas perjuangan kemerdekaan, menjaga keutuhan negar,a serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan moralitas publik.
Baca juga: Tutut Tak Masalah soal Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Semua Perjuangannya untuk Rakyat
"Soeharto tidak layak menjadi Pahlawan Nasional lantaran rekam jejaknya dalam kejahatan HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta gaya kepemimpinan otoriter selama 32 tahun menjabat," ungkap Jane kepada Tribunnews.com pada Senin (27/10/2025) lalu.
"Selama masa Orde Baru, ia (Soeharto) menjalankan pemerintahan dengan pola kekuasaan yang otoriter dan represif yang berdampak luas terhadap kehidupan rakyat Indonesia," imbuhnya.
Pada 2016 silam, KontraS membeberkan 10 dosa besar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Soeharto.
Yati Andriani yang saat itu menjabat sebagai Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, mengungkapkan banyak tuntutan untuk mengungkap dugaan pelanggaran HAM berat oleh Soeharto, pasca-runtuhnya Orde Baru pada 1998.
"Soeharto adalah sosok yang kontroversial. Mengutip kalimat Gus Dur, Soeharto itu jasanya besar, tetapi dosanya juga besar," kata Yati, Selasa (24/5/2026), dilansir Kompas.com.
Berikut ini 10 dosa besar pelanggaran HAM oleh Soeharto menurut catatan KontraS:
1. Kasus Pulau Buru tahun 1965-1966 (Laporan Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM 2003)
Dalam kejadian ini, Soeharto kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkoops Pemulihan Kamtib).
Sebagai Pangkoops Pemulihan Kamtib, Soeharto diduga telah membuat ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal, dan pembuangan ke Pulau Buru.
2. Penembakan misterius atau petrus tahun 1981-1985 (Amnesty Internasional, 31 Oktober 1983; "Indonesia-Extrajudicial Executions of Suspected Criminals")
Sepanjang 1981-1985, Soeharto "menerapkan" aturan "hukuman mati" terhadap residivis, bromocorah, preman, tanpa melalui pengadilan.
Dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981, Soeharto secara gamblang mengatakan pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama, seperti saat memperlakukan korbannya.
Operasi petrus itu juga disebut Soeharto sebagai shocktherapy, seperti pengakuannya dalam otobiografinya berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (halaman 389) yang ditulis Ramadhan KH pada 1989.
Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung.
3. Tanjung Priok tahun 1984-1987 (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM: 2003)
Melalui Keputusan Presiden Nomor 179/KOTI/65, secara resmi berdiri Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB).
Dalam peristiwa Tanjung Priok, Soeharto dianggap menggunakan KOPKAMTIB sebagai instrumen penting untuk mendukung dan melindungi kebijakan politiknya.
Sebagai panglima tertinggi, ia juga mengeluarkan sikap, pernyataan, dan kebijakan yang bersifat represif untuk mengeliminasi respons masyarakat atas kebijakan asas tunggal Pancasila yang dikeluarkan Orde Baru.
Soeharto sebagai presiden dan penanggung jawab seluruh kegiatan KOPKAMTIB disebut mewajibkan ABRI mengambil tindakan represif untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam yang dianggap sebagai golongan ekstrem yang harus dicegah dan ditumpas seperti penanganan G 30 S.
Akibat dari kebijakannya, lebih dari 24 orang dilaporkan meninggal, 36 terluka berat, dan 19 luka ringan, dalam peristiwa tersebut.
4. Talangsari tahun 1984-1987 (Laporan Ringkasan Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989, Komnas HAM: 2008)
KontraS juga mencatat, akibat kebijakan represif Soeharto saat menjabat sebagai Presiden, mengakibatkn meletusnya peristiwa Talangsari.
Dalam peristiwa itu, 130 orang tewas, 77 orang diusir paksa, 53 orang terampas kemerdekaannya, 45 orang disiksa, dan 229 orang mengalami penganiayaan.
5. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh tahun 1989-1998 (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM: 2003)
Operasi ini merupakan kebijakan yang diputuskan secara internal oleh ABRI setelah mendapat persetujuan dari Soeharto selaku presiden dan panglima tertinggi.
Berdasarkan hasil investigasi Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), selama 10 tahun operasi berlangsung, telah menyebabkan 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan, dan 102 perempuan dirudapaksa.
6. DOM Papua tahun 1963-2003 (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM: 2003)
Operasi militer di Papua ini dimaksudkan untuk memberantas Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kebijakan ini mengakibatkan sejumlah peristiwa meletus, seperti:
- Terminabun (1966-1967), sekitar 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang.
- Kebar (1965), 23 orang terbunuh.
- Manokwari (1965), 64 orang dieksekusi mati.
- Sentani, 20 orang menjadi korban penghilangan paksa.
- Enatorali (1969-1970), 634 orang terbunuh.
- Jayawijaya dan Wamena Barat lewat Operasi Tumpas (1970-1985), terjadi pembantaian di 17 desa.
7. Peristiwa 27 Juli 1996
Dalam peristiwa ini, Soeharto memandang Megawati Soekarnoputri sebagai ancaman terhadap Orde Baru.
Ia hanya menerima DPP PDI pimpinan Suryadi yang merupakan lawan politik Megawati.
Peristiwa ini pun berbuntut aksi kekerasan diduga berupa pembunuhan, penangkapan, dan penahanan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati.
Setidaknya 11 orang dilaporkan meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 ditahan.
8. Penculikan dan pengilangan secara paksa tahun 1997-1998 (Laporan Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Penghilangan Paksa: 2006)
Peristiwa ini tak lepas dari konteks tragedi 27 Juli 1996, menjelang Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998, di mana masa itu wacana pergantian Soeharto kerap digaungkan.
Setidaknya, 23 aktivis pro-demokrasi dan warga sipil yang dianggap akan bergerak melengserkan Soeharto, menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa.
Komando Pasukan Khusus (Kopassus) disebut menjadi eksekusi lapangan, dengan operasi bernama Tim Mawar.
Sebanyak sembilan orang dikembalikan, satu meninggal, dan 13 masih hilang sampai saat ini.
9. Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998
Saat peristiwa ini, aktivis dan mahasiswa pro-demokrasi mendorong reformasi total dan turunnya Soeharto dari jabatannya karena krisis ekonomi dan maraknya KKN.
Tindakan represif penguasa melalui ABRI menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka.
Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak peluru aparat keamanan.
10. Kerusuhan 13-15 Mei 1998
Peristiwa 13-15 Mei 1998 merupakan rangkaian dari kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Trisakti, penculikan, dan penghilangan paksa.
Ketidakberdayaan pemerintahan Soeharto mengendalikan tuntutan mahasiswa dan masyarakat, direspons sebuah "pembiaran" kekerasan dan kerusuhan pada 13-15 Mei 1998.
Dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, rudapaksa, serta penyerangan terhadap etnis tertentu.
Selain 10 dosa besar itu, KontraS juga mencatat pelanggaran lainnya yang terjadi selama masa Orde Baru, seperti:
- Pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), yang juga diberi gelar Pahlawan Nasional bersamaan dengan Soeharto;
- Pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin (1996);
- Penembakan warga dalam pembangunan Waduk Nipah di Madura, Jawa Timur (1993);
- Pembantaian di Santa Cruz, Dili, Timor Leste (1991);
- Pemberedelan media massa selama Orde Baru;
- Penggusuran warga untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) (1971);
- Pelarangan aktivitas organisasi mahasiswa melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974-1975);
- Pemberangusan organisasi kemasyarakatan lewat UU No. 5 Tahun 1985.
Dianggap Pengkhianatan Reformasi
Pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, dianggap Jaringan Gusdurian sebagai pengkhianatan terhadap reformasi.
Sebab, selama 32 tahun berkuasa, Soeharto dinilai banyak melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan kemanusiaan.
Jaringan Gusdurian adalah komunitas nasional yang terinspirasi oleh nilai, pemikiran, dan perjuangan Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Jaringan ini aktif dalam isu-isu sosial, budaya, dan kemanusiaan, serta memperjuangkan nilai-nilai pluralisme dan keadilan.
"Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto yang berkuasa secara otoriter selama 32 tahun patut dipertanyakan," ujar Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, Senin.
"Rezim Orde Baru yang dikendalikannya selama lebih tiga dasawarsa melakukan berbagai dosa besar demokrasi, mulai dari pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, represi politik, hingga kebebasan sipil politik," lanjutnya.
Alissa Wahid menambahkan, Soeharto tidak memenuhi syarat integritas moral dan keteladanan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Jaringan Gusdurian menolak secara tegas pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan menganggap keputusan itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi dan reformasi.
"Menyayangkan keputusan Presiden Prabowo dan pemerintah karena dianggap didasari oleh pertimbangan politik dan relasi keluarga, bukan kebijaksanaan moral dan sejarah," ucapnya.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar Pahlawan Nasional terhadap 10 tokoh, yaitu:
- Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid, tokoh dari Provinsi Jawa Timur, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Politik dan Pendidikan Islam;
- Almarhum Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, tokoh dari Provinsi Jawa Tengah, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan;
- Almarhumah Marsinah, tokoh dari Provinsi Jawa Timur, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan;
- Almarhum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, tokoh dari Provinsi Jawa Barat, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Hukum dan Politik;
- Almarhumah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah, tokoh dari Provinsi Sumatra Barat, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Pendidikan Islam;
- Almarhum Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, tokoh dari Provinsi Jawa Tengah, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Bersenjata;
- Almarhum Sultan Muhammad Salahuddin, tokoh dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Pendidikan dan Diplomasi;
- Almarhum Syaikhona Muhammad Kholil, tokoh dari Provinsi Jawa Timur, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Pendidikan Islam;
- Almarhum Tuan Rondahaim Saragih, tokoh dari Provinsi Sumatra Utara, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Bersenjata;
- Almarhum Zainal Abidin Syah, tokoh dari Provinsi Maluku Utara, Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Politik dan Diplomasi.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Fersianus Waku/Fahdi Fahlevi, Kompas.com/Kristian Erdianto)
Gelar Pahlawan Nasional
Meaningful
Soeharto
Kontras
Hari Pahlawan Nasional
Prabowo Subianto
Jane Rosaline Rumpia
Gelar Pahlawan Nasional
| Soeharto dan Gus Dur Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Ini Respons BEM PTNU |
|---|
| Andi Arief dkk Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto |
|---|
| Tutut Tak Masalah soal Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Semua Perjuangannya untuk Rakyat |
|---|
| Kakak Marsinah Minta Pemerintah Hapus Outsourcing: Itu yang Diperjuangkan Adikku |
|---|
| Fadli Zon Ungkap Alasan Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.