Gelar Pahlawan Nasional
Andi Arief dkk Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Menjadikan klaim jasa sebagai alasan untuk menutupi kesalahan atau kejahatan sejarah sama saja dengan menyuntikkan “bius amnesia sejarah”.
Ringkasan Berita:
- Sejumlah aktivis reformasi 1998 menolak gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
- Aktivis 1998 mempertanyakan keputusan pemerintah yang menobatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional
- Aktivis 1998 mempertanyakan nilai moral yang ingin diwariskan kepada generasi muda melalui keputusan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah aktivis reformasi 1998 membuat pernyataan bersama menolak keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 Soeharto.
Aktivis 1998 adalah kelompok mahasiswa, pemuda, dan masyarakat sipil yang berjuang menuntut reformasi dan menjatuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998.
Baca juga: Tutut Tak Masalah soal Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Semua Perjuangannya untuk Rakyat
Mereka dikenal sebagai Aktivis 98 dan berperan besar dalam lahirnya era demokrasi di Indonesia.
Dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com pada Senin (10/11/2025), mereka mempertanyakan keputusan pemerintah yang menobatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Baca juga: Tolak Gelar Pahlawan ke Soeharto, Jaringan Gusdurian: Pengkhianatan pada Reformasi
"Kami tak menolak mengakui jasa yang disumbangkan siapapun terhadap Republik ini, termasuk Soeharto. Tetapi kepahlawanan adalah hal yang jauh lebih besar dan penting dari sekedar menghargai jasa seseorang, siapapun dia," demikian isi pernyataan tersebut.
Menurut mereka, menjadikan klaim jasa sebagai alasan untuk menutupi kesalahan atau kejahatan sejarah sama saja dengan menyuntikkan “bius amnesia sejarah” ke tubuh bangsa.
Kepahlawanan, kata mereka, seharusnya menjadi mekanisme moral kolektif yang membantu bangsa membedakan mana yang benar dan salah dalam sejarah.
"Memilih mana yang patut dihormati dan mana yang harus menjadi pelajaran. Ia tidak boleh dikosongkan maknanya menjadi sekadar kemegahan personal, karena sesungguhnya ia adalah kompas moral bagi kehidupan bersama dalam menuju masa depan," tegas mereka.
Mereka juga menyinggung pentingnya konsistensi negara dalam mengakui seluruh pihak yang berjasa bagi kemerdekaan Indonesia.
Mereka menilai, bila rekonsiliasi menjadi alasan utama, maka seharusnya pemerintah juga mengakui peran tokoh-tokoh kiri Indonesia yang selama ini dihapus dari catatan resmi sejarah.
"Kami bertanya: Apakah bangsa ini telah kehilangan keberanian untuk mengakui sejarahnya sendiri? Apakah nilai-nilai yang hendak diajarkan kepada anak-anak dan cucu kita dari sikap inkonsisten dan mau menang sendiri tersebut?" tanya mereka.
Mereka mempertanyakan nilai moral yang ingin diwariskan kepada generasi muda melalui keputusan tersebut—apakah kekuasaan boleh berbuat apa saja demi kemakmuran, kepatuhan pada negara lebih penting daripada kemanusiaan, atau bahwa korban-korban boleh dilupakan demi stabilitas politik.
"Jika itu pelajaran moral yang akan diwariskan kepada generasi muda, maka bangsa kita bukan sedang membangun masa depan, melainkan sedang memperpanjang bayang-bayang masa lalu. Terhadap kemungkinan itu, kami menyatakan tidak setuju," tegas mereka.
Gelar Pahlawan Nasional
| Tolak Gelar Pahlawan ke Soeharto, Jaringan Gusdurian: Pengkhianatan pada Reformasi |
|---|
| Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional Soeharto, Fadli Zon Lagi-lagi Tegaskan Tak Ada Kaitan Mei 98 |
|---|
| Gus Dur Resmi Pahlawan Nasional, Ketua DPP PKB Sebut Presiden Prabowo Peka Keinginan Hati Warga |
|---|
| Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Legislator PDIP Ungkap Pelanggaran HAM saat Orde Baru |
|---|
| Kakak Marsinah Berharap Perjuangan Adiknya Dilanjutkan: Jangan Ada PHK |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.