Jurnalis di Belantara Disinformasi dan Misinformasi: Jaga Etika, Edukatif, Disiplin Verifikasi Data
Peran Etika Jurnalistik Kian Vital di tengah maraknya disinformasi serta misinformasi. Menuju jurnalisme berkualitas.
Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) ini mewajibkan wartawan untuk selalu menguji informasi, menjaga keberimbangan, dan tidak mencampurkan fakta dengan opini.
Prinsip ini yang diyakini bisa menjadi tali penyelamat dari jebakan misinformasi dan disinformasi.
Menurutnya, hal ini merupakan wujud nyata dari implementasi pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Disebutkannya fungsi pers yang ideal mencakup tiga nilai utama, yakni informasi, edukasi, dan ekspektasi.
“Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sebagai bagian dari kehidupan bernegara ini. Kita (pers) sesungguhnya memiliki peran, berdasarkan juga undang-undang pers (UU Pers) hingga berpatokan pada kode etik."
"Dan peran kita dalam konteks demokrasi adalah pada pilar ke-4 Demokrasi," imbuh Nurcholis, yang juga asesor Uji Kompetensi Wartawan dan Ahli Pers Dewan Pers tersebut, kepada Tribunnews Oktober 2025 lalu.
Nurcholis menekankan bahwa dalam konteks informasi media massa, bukan melulu soal informasi saja namun juga informasi yang mengedukasi.
Informasi yang akurat dan terverifikasi menjadi dasar agar masyarakat tidak terjebak pada hoaks.
Fungsi edukasi menuntut media agar memberikan pemahaman mendalam atas isu yang diangkat.
Sedangkan nilai ekspektasi diwujudkan melalui pemberitaan yang membuka ruang dialog antara masyarakat dengan pemerintah.
Disiplin Verifikasi Data: Nyawa Jurnalis
Frans Surdiasis, jurnalis senior sekaligus Anggota Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas periode 2024 - 2027, menambahkan bahwa untuk melawan disinformasi dan misinformasi, wajib disiplin verifikasi data.
Disiplin verifikasi data ini ia anggap sebagai ‘nyawa utama’ jurnalisme.
“Berita berbasis data dan fakta adalah semacam jalan lebar menuju era jurnalisme berkualitas,” ujarnya kepada Tribunnews.com, Rabu (10/9/2025).
Frans mengatakan di tengah lingkungan informasi yang makin kompleks, wartawan tidak bisa lagi sekadar mengandalkan nose for news atau insting berita.
Pria yang juga seorang Dosen di Universitas Atma Jaya, Jakarta ini juga menyebut bahwa jurnalis butuh memahami dunia yang kompleks melalui alat bantu yang lain: data.
“Informasi saja tidak lagi cukup. Saat ini kita berada di sebuah era kelimpahan informasi (the abundance of information). Situasi ini justru melahirkan paradox: semakin banyak informasi, semakin sulit bagi kita untuk menentukan mana yang sungguh berarti (meaningful),” ujarnya.
Hingga akhirnya tuntutan terhadap jurnalis makin tinggi.
Menurutnya, kecakapan di dalam managing information dengan pengelolaan data sebagai instrumennya menjadi salah satu prasyarat penting bagi jurnalis untuk mengerjakan tanggung jawabnya.
Frans menerangkan bahwa jurnalisme data memberi ruang lebar-lebar bagi seorang wartawan dalam menegakkan independensinya dalam menyajikan informasi.
Jika independensi ini dianut semua media massa, bukan tidak mungkin tingkat kepercayaan publik terhadap media ikut meningkat.
“Jurnalisme kita tidak sedang baik-baik saja. Kita perlu menyegarkan Kembali jurnalisme dengan memperkuat perannya dalam menyediakan informasi yang bermakna bagi khalayak,” tutupnya.
(*)
| Akun Medsos Jian Ayune Anak Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Hilang usai sang Ayah Ditangkap KPK |
|
|---|
| Polemik Gelar Pahlawan Nasional Soeharto, Ini 10 Dosa Besar Presiden ke-2 RI Menurut KontraS |
|
|---|
| Trump Ancam Cabut Kewarganegaraan Zohran Mamdani, Tuduhan Komunis Jadi Senjata Politik |
|
|---|
| Badai Super Fung-Wong Mereda, DPR Filipina Masuk Normal Lagi Selasa 11 November |
|
|---|
| Bukan Imbas Kekerasan, Siswi SD di Palembang yang Matanya Lebam Diduga Idap Pertusis |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.