Minggu, 16 November 2025

Wawancara Eksklusif

VIDEO Kisah Keberanian Rahmah El Yunusiyyah Melawan Penjajah & Mendidik Perempuan Indonesia

Rahmah menjawab tegas: “Sampai lapuk tulangku di liang kubur, aku tidak akan pernah bekerja sama dengan kalian.”

|

Tujuannya jelas: mencetak perempuan terdidik agar dapat melahirkan generasi yang kuat dan berkualitas.

"Bunda Rahmah mengatakan, 'Di tangan perempuan yang terdidik, akan lahir generasi yang berkualitas'."

"Artinya, ketika beliau melihat kondisi bangsa pada saat itu dalam penjajahan, beliau berpikir, untuk bisa bangsa ini bangkit merdeka, itu akan memerlukan generasi yang betul-betul kuat dan punya kemampuan yang luar biasa. Dan itu hanya akan bisa lahir dari seorang ibu yang terdidik dengan baik," ujar Fauziah.

Murid pertamanya adalah Rasuna Said, yang kelak juga menjadi Pahlawan Nasional.

Satu angkatan dengan Siti M. Nur, ibu dari penyair Taufik Ismail.

Rahmah tak berhenti di situ. Pada 1937, Rahmah mendirikan Kuliyatul Mualimat al-Islamiyyah (setingkat SMA) karena merasa pendidikan guru perlu ditingkatkan. Kemudian, pada 1967, ia melangkah lebih jauh dengan mendirikan Universitas Diniyyah Puteri.

"Tahun 1937, Bunda Rahmah merasa tidak cukup guru hanya tamat tingkat SMP. Maka beliau dirikanlah Kuliyatul Mualimat al-Islamiyyah, tingkat SMA-nya. Dan tahun 1967, beliau rasa nggak cukup guru hanya tamat SMA, kalau S1, maka beliau dirikanlah yang namanya Universitas Diniyyah Puteri, walaupun sekarang masih satu fakultas," jelasnya.

Merah Putih Pertama di Sumatra Barat

Salah satu momen  paling menggetarkan dalam hidup Rahmah adalah saat ia mengibarkan bendera Merah Putih pertama di Sumatra Barat — tepat di halaman Asrama Diniyyah Putri Padang Panjang.

"Jadi, Bu Rahmah sendiri menjadikan Diniyyah Putri sebagai tempat berkumpulnya para tokoh-tokoh pejuang. Bahkan Bung Karno sendiri, setelah dibuang ke Bengkulu, sebelum kembali ke Jakarta, beliau singgah ke Padang Panjang dan berjumpa dengan Bu Rahmah di rumah beliau," kisah Fauziah.

"Mereka membicarakan kepastian bahwa bendera negara kalau kita merdeka, yang namanya benderanya merah putih. Itu kesepakatan di rumah itu dibicarakan, bahwa tetap Indonesia merdeka bendera hanya satu, merah putih.," cerita Fauziah.

Ketika kabar kemerdekaan tiba, bukan datang dari RRI, melainkan dari Tuan Guru Syeikh Djamil Djaho dari INS Kayutanam, Rahmah segera bertindak.

Spontan, ia mengambil selendang putih milik santri dan kain tenun merah buatan tangan muridnya.

"Karena pada saat itu di daerah Minang, bahan kain itu cukup langka, maka santri dilatih untuk bertenun sendiri. Jadi ada santri yang sedang menenun kain merah, itu diambil, dijahitkan dengan selendang putih, lalu dikibarkan bendera di depan asrama Diniyyah Putri Padang Panjang," ujar Fauziah..

Titik tiang bendera itu masih berdiri hingga kini — menjadi saksi keberanian seorang perempuan Minang yang menyalakan api kemerdekaan di barat Nusantara.

"Jadi kalau ke Padang Panjang, ke Diniyyah Putri, di depan asrama itu ada tiang bendera, posisinya sampai sekarang masih sama, hanya ganti tiang aja. Di sana berkibar pertama kali merah putih di daerah Minang," tegas Fauziah.(*)

Saksikan wawancara eksklusif lengkapnya hanya di Kanal YouTube Tribunnews!

 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved