Senin, 17 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Ribka Tjiptaning: Saya Siap Diperiksa untuk Buktikan Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan 

Ribka Tjiptaning, menyatakan dirinya siap diperiksa untuk membuktikan bahwa Presiden ke-2 Soeharto tak layak menjadi pahlawan nasional. 

Tribunnews.com/ Ashri Fadilla
SIAP DIPERIKSA - Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning. Ia menyatakan siap diperiksa untuk membuktikan bahwa Presiden ke-2 Soeharto tak layak menjadi pahlawan nasional.  
Ringkasan Berita:
  • Ketua DPP PDIP menyatakan siap diperiksa polisi untuk membuktikan bahwa Soeharto tidak layak menjadi pahlawan nasional.
  • Ia sebelumnya menyebut Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat.”
  • Ribka menegaskan akan menghadirkan kesaksian Tim Ad Hoc Komnas HAM terkait peristiwa 1965 serta korban penculikan era Soeharto.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Ribka Tjiptaning mengaku siap diperiksa oleh aparat kepolisian untuk membuktikan bahwa Presiden ke-2 RI Soeharto tak layak menjadi pahlawan nasional. 

Hal ini menanggapi laporan polisi yang diajukan Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) terhadap dirinya.

Ia dilaporkan karena sebelumnya menyebut Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat” sebelum Presiden Prabowo Subianto akhirnya menetapkan Soeharto sebagai pahlawan. 

"Saya siap diperiksa untuk membuktikan ucapan saya benar bahwa Soeharto tidak layak menjadi pahlawan," kata Ribka kepada wartawan, Sabtu (15/11/2025).

Selain pengalamannya sendiri sebagai korban, Ribka juga akan meminta kesaksian Tim Ad Hoc bentukan Komnas HAM yang menyelidiki peristiwa 1965. 

"Kita bisa dengar kesaksian bagaimana mereka menemukan korban-korban pelanggaran HAM Soeharto itu. Apa benar atau cuma fiksi?" ujarnya. 

Menurut dia, temuan utama Tim Komnas HAM waktu itu jelas-jelas menemukan adanya berbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang meluas dan sistematis.

"Seperti pembunuhan massal, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang (sekitar 41 ribu orang), penyiksaan, perampasan kemerdekaan fisik, dan kekerasan seksual. Diperkirakan sekitar 32.774 orang hilang, dan beberapa lokasi diidentifikasi sebagai tempat pembantaian," ucap Ribka.

Selain itu, kata Ribka, masih menurut hasil penyeldikan Komnas HAM dikatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang langsung di bawah kendali Soeharto.

"Itu bisa digoogling dan didownload hasil laporannya. Dan itu penyelidikan Pro Yustisia lho. Itu sesuai perintah Undang-undang, tetapi sampai sekarang belum ditindak lanjuti oleh negara. Silakan cari ada itu ringkasan eksekutif tim ad hoc peristiwa 65," tegas Ribka.

Ia menjelaskan, tim yang membuat laporan tersebut juga masih ada dan bisa ikut bersaksi. Tim tersebut, menurutnya, diketuai oleh Nur Kholis dan wakilnya Kabul Supriadi, Johny Nelson Simanjuntak, serta Yosep Adi Prasetyo. 

"Satu per satu bisa diminta bersaksi. Termasuk juga korban-korban penculikan era Soeharto yang masih hidup dan kebetulan sekarang ada di kabinet Prabowo bisa ikut kasih kesaksian," tutur Ribka.

Diketahui, pelaporan itu dilayangkan oleh ARAH ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada Rabu (12/11/2025).

"Kami datang ke sini membuat laporan polisi terkait pernyataan salah satu politisi dari PDIP yaitu Ribka Tjiptaning yang menyatakan bahwa Pak Soeharto adalah pembunuh jutaan rakyat," kata Koordinator ARAH, Iqbal, saat wawancara di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta.

Pelapor membawa sejumlah bukti dari media atas penyataan terlapor yang dinilai menyesatkan.

Tak cuma itu, Iqbal menilai pernyataan Ribka mengandung ujaran kebencian serta penyebaran berita bohong. 

Menurut Iqbal, pernyataan itu tidak berdasar sebab tidak terdapat putusan pengadilan yang menyatakan Soeharto melakukan pembunuhan terhadap jutaan rakyat.

“Apakah ada putusan hukum atau putusan pengadilan yang menetapkan bahwa almarhum Presiden Soeharto melakukan pembunuhan terhadap jutaan masyarakat?" jelasnya. 

Pihak pelapor melaporkan kasus ini ke Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Adapun laporan ini tidak mengatasnamakan nama keluarga Cendana, namun inisiatif pelapor untuk menjaga ruang publik dari penyebaran informasi tidak benar.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved