Selasa, 18 November 2025

Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi dan Arsul Sani, Amstrong Sembiring: Komoditas Politik Jangka Pendek

Ketika dua isu besar tersebut terus dilemparkan tanpa dasar hukum yang kuat, publik hanya diseret ke dalam perdebatan tidak bermutu

Penulis: Reza Deni
Editor: Eko Sutriyanto
HO-Dokumen Pribadi
ISU IJAZAH PALSU - Pakar Hukum Amstrong Sembiring ikut memberikan pandangannya soal polemik dugaan ijazah palsu mulai Presiden ke-7 RI Joko Widodo hingga Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani. Amstrong menilai rangkaian tuduhan tersebut sebagai kontroversi tidak mutu yang hanya menjadi komoditas politik jangka pendek. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Polemik dugaan ijazah palsu kembali menyeruak ke ruang publik.

Setelah Presiden ke-7 RI Joko Widodo, kini Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani juga mendapatkan tudingan yang sama. 

Pakar hukum Amstrong Sembiring menilai rangkaian tuduhan tersebut sebagai kontroversi tanpa mutu yang hanya menjadi komoditas politik jangka pendek.

Diketahui, Amstrong meraih gelar Sarjana Hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jakarta.

Pada tahun 2007, ia menyelesaikan studi pascasarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

"Pola ini menunjukkan bagaimana serangan personal kerap digunakan untuk memicu kegaduhan, alih-alih memperkuat diskursus demokrasi yang sehat," kata Amstrong dalam keterangan yang diterima, Senin (17/11/2025).

Baca juga: Dituding Ijazah Palsu, Arsul Sani: Tabayyun Dulu, Jangan Emosi

Dia menilai ketika dua isu besar tersebut terus dilemparkan tanpa dasar hukum yang kuat, publik hanya diseret ke dalam perdebatan tidak bermutu dan semakin jauh dari persoalan bangsa yang lebih penting.

Amstrong memaparkan tiga catatan hukum dan politik terkait maraknya isu personal tanpa bukti ini:

Pertama, Serangan personal tanpa dasar merusak kualitas demokrasi.

“Tuduhan semacam ini bukan hanya merusak reputasi individu, tetapi juga menurunkan standar diskusi publik karena tidak didukung dokumen legal, saksi, maupun hasil investigasi lembaga berwenang,” katanya.

Kedua, mengalihkan fokus dari isu yang lebih penting.

Publik seharusnya menuntut gagasan, kebijakan, dan rekam jejak para tokoh politik.

“Drama politik semacam ini hanya menghabiskan perhatian dan energi tanpa menghasilkan manfaat,” ujarnya.

Ketiga, menunjukkan kerapuhan argumen politik.

“Ketika aktor politik tidak mampu menawarkan substansi, mereka cenderung memainkan isu personal demi menciptakan kegaduhan sesaat, meski merusak kualitas demokrasi jangka panjang,” tambahnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved