Kamis, 20 November 2025

Anak Rentan Jadi Target Kelompok Terorisme, Orang Tua Harus Lebih Peka dan Kenali Pola Rekrutmennya

Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana menuturkan bahwa ajakan terhadap anak dilakukan sistematis

Penulis: Reynas Abdila
Tribunnews.com/Reynas Abdila
AKSI TERORISME - Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkap kasus perekrutan anak-anak oleh kelompok terorisme di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025). Sebanyak lima orang ditangkap dari pengungkapan kasus tersebut. 

 

Ringkasan Berita:
  • Perekrutan terhadap anak untuk gabung ke dalam kelompok terorisme dilakukan masif oleh para pelaku di ruang digital 
  • Pola yang digunakan antara lain mendorong anak-anak membandingkan ideologi
  • Densus 88 menegaskan pentingnya peran keluarga, lingkungan sekolah, komunitas digital, dan masyarakat luas sebagai mitra strategis dalam memutus rantai radikalisasi


 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perekrutan terhadap anak untuk gabung ke dalam kelompok terorisme dilakukan masif oleh para pelaku di ruang digital terbuka seperti platform media sosial.

Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana menuturkan bahwa ajakan terhadap anak dilakukan sistematis.

Baca juga: Densus 88 Tangkap Lima Orang Terduga Teroris yang Bertugas Rekrut Anak-anak Melalui Ruang Digital

Menurutnya para pelaku perekrut memanfaatkan grup privat yang terenkripsi.

“Jadi tentunya yang di platform umum ini akan menyebarkan dulu visi-visi utopia ya, yang mungkin bagi anak-anak itu bisa mewadahi fantasi mereka sehingga mereka tertarik,” jelas AKBP Mayndra saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025).

Baca juga: Siswa SMA Pelaku Ledakan, Pengamat Terorisme Singgung Lemahnya Literasi Digital & Kontrol Sosial

Di dalam grup privat itulah proses indoktrinasi berlangsung terhadap target anak.

Pola yang digunakan antara lain mendorong anak-anak membandingkan ideologi.

"Contohnya pertanyaan mana yang lebih baik, Pancasila atau Kitab Suci?” jelasnya.

Dari pertanyaan seperti itu, proses penanaman ideologi ekstremisme kemudian dimulai. 

AKBP Mayndra menuturkan pola-pola rekrutmen ini dilakukan agar membuat target anak tertarik.

“Anak-anak dibikin tertarik dulu, kemudian mengikuti grup lalu diarahkan kepada grup yang lebih privat, grup yang lebih kecil, dikelola oleh admin," paparnya.

Mayndra menyebut langkah pencegahan dilakukan baik secara fisik maupun ideologis. 

Ancaman terhadap keamanan objek vital negara bukan tak mungkin terjadi akibat perekrutan anak ke kelompok terorisme.

Secara kelembagaan, Densus 88 terus meningkatkan koordinasi lintas kementerian/lembaga untuk menyusun respons terpadu terhadap kasus-kasus keterlibatan anak

Koordinasi ini mencakup penguatan SOP perlindungan anak terpadu, rujukan layanan psikososial, hingga pemantauan lanjutan pasca-intervensi untuk mencegah keterulangan.

Dalam konteks pencegahan berbasis komunitas, Densus 88 menegaskan pentingnya peran keluarga, lingkungan sekolah, komunitas digital, dan masyarakat luas sebagai mitra strategis dalam memutus rantai radikalisasi. 

"Orang tua harus memahami pola komunikasi anak di dunia digital, sekolah diminta lebih proaktif mengidentifikasi perubahan perilaku yang mengkhawatirkan, sementara masyarakat dan komunitas online diimbau segera melaporkan temuan mencurigakan melalui kanal pengaduan resmi Polri," tukasnya.

Baca juga: Kasus ABH Pelaku Ledakan SMAN 72 Dinilai Bisa Lebih Berbahaya dari Terorisme karena Sulit Dideteksi

Pentingnya orang tua untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan terhadap aktivitas digital anak, termasuk interaksi di game online dan media sosial.

Artinya orang tua harus lebih peka dan tidak ragu melakukan sidak gadget.

Densus 88 berkomitmen memastikan bahwa setiap anak yang terpapar tetap mendapatkan perlindungan maksimal dan kesempatan pemulihan yang utuh.

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved