Sabtu, 22 November 2025

RUU KUHAP

5 Pasal Bermasalah di KUHAP Baru yang Disorot Koalisi Sipil: Pasal Karet hingga Polisi Superpower

Koalisi Masyarakat Sipil menilai KUKAP baru ini bukan membawa reformasi, melainkan menyeret Indonesia ke jurang krisis hukum pidana.

Tribun Jabar/Gani Kurniawan
TOLAK KUHAP - Ratusan mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Unisba (KBMU) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Rabu (19/11/2025). Dalam aksinya, mereka menyuarakan penolakan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai disahkan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 
Ringkasan Berita:
  • RUU KUHAP yang disahkan menjadi undang-undang oleh DPR RI pada 18 November 2025 menuai kritik tajam
  • Koalisi Masyarakat Sipil menilai KUHAP baru ini bukan membawa reformasi, melainkan menyeret Indonesia ke jurang krisis hukum pidana
  • Setidaknya terdapat 40 catatan masalah substansial yang ditemukan namun ada 5 pasal yang benar-benar krusial

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi undang-undang oleh DPR RI pada 18 November 2025 menuai kritik tajam. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai aturan baru ini bukan membawa reformasi, melainkan menyeret Indonesia ke jurang krisis hukum pidana.

KUHAP merupakan hukum acara pidana di Indonesia yang mengatur proses pidana, mulai dari penyidikan, penyidikan, tuntutanan hingga persidangan dan eksekusi hukuman.

KUHAP terbaru telah disahkan oleh DPR RI pada 18 November 2025 dan akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. 

KUHAP ini menggantikan versi lama yang telah berlaku selama 44 tahun.

Pasal-pasal yang disorot koalisi sipil

Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Sabtu (22/11/2025), koalisi menyoroti cacat substansi yang fatal dalam KUHAP baru. 

Setidaknya terdapat 40 catatan masalah substansial yang ditemukan.

Dimana pasal-pasal tersebut dinilai memberikan kewenangan berlebihan kepada aparat penegak hukum tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, serta mengancam hak asasi warga negara.

Berikut adalah rincian pasal-pasal bermasalah yang menjadi sorotan utama koalisi masyarakat sipil:

1. Hilangnya Judicial Scrutiny dalam Penangkapan dan Penahanan

Masalah paling fundamental dalam KUHAP 2025 adalah kewenangan upaya paksa (penangkapan dan penahanan) yang sepenuhnya berada di tangan penyidik tanpa kontrol otoritas independen atau hakim (judicial scrutiny).

Merujuk pada Pasal 93 dan Pasal 99, penyidik memiliki kuasa mutlak untuk memutuskan penangkapan dan penahanan tanpa pengujian keabsahan alat bukti oleh hakim yang imparsial. 

Lebih parah lagi, alasan penahanan diperluas dengan indikator yang sangat subjektif, seperti memberikan informasi tidak sesuai fakta atau menghambat proses pemeriksaan.

"Izin penangkapan dan penahanan bukan dari otoritas independen ini hanya terjadi di sistem peradilan pidana Indonesia. Negara lain sudah menerapkan judicial scrutiny," tulis koalisi dalam rilisnya. 

Hal ini dinilai rentan penyalahgunaan wewenang dan melanggar hak ingkar tersangka.

2. Polisi Menjadi Superpower, Penyidik Khusus Lumpuh

KUHAP baru mengukuhkan posisi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai penyidik utama yang membawahi hampir seluruh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). 

Berdasarkan Pasal 6, 7, 8, dan 24, PPNS di lembaga seperti BNN (Narkotika), BPOM, Kementerian Kehutanan (Illegal Logging), hingga Bea Cukai, kehilangan independensinya.

Dalam aturan baru ini (Pasal 93 ayat 3 dan 99 ayat 3), PPNS tidak bisa melakukan penangkapan dan penahanan kecuali atas perintah atau persetujuan penyidik Polri.

"Penyidikan kasus-kasus spesifik terancam tidak efektif karena harus tunduk di bawah penyidik kepolisian yang kemampuan keahliannya mungkin tidak spesifik di bidang tersebut," ungkap perwakilan koalisi.

3. Celah Transaksional dalam Restorative Justice

Mekanisme Restorative Justice (RJ) yang seharusnya memulihkan korban, dalam KUHAP baru justru berpotensi menjadi ruang gelap pemerasan. 

Pasal 80 ayat 2 memungkinkan kesepakatan damai dicapai pada tahap penyelidikan, padahal keberadaan tindak pidana belum dipastikan secara hukum.

Situasi ini diperburuk dengan minimnya peran hakim yang hanya menjadi stempel formal (Pasal 83–84). 

Tanpa pengawasan hakim untuk menolak kesepakatan yang bermasalah, RJ rentan dimanipulasi menjadi ajang tukar guling kasus. 

Syarat RJ yang bersifat alternatif juga membuka celah bagi kejahatan serius seperti kejahatan lingkungan, perbankan, hingga judi online untuk diselesaikan di bawah meja.

4. Pasal Karet Tindakan Lain

Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, secara spesifik menyoroti adanya frasa ambigu dalam Pasal 5 huruf e, Pasal 7 huruf o, dan Pasal 16 huruf k yang memberikan wewenang kepada penyelidik untuk melakukan tindakan lain menurut hukum.

"Penjelasannya hanya tertulis 'cukup jelas'. Ini membuka ruang penyalahgunaan wewenang yang luar biasa besar," kata Fadhil. 

Frasa karet ini dikhawatirkan melegitimasi tindakan represif atau koruptif di lapangan tanpa landasan hukum yang pasti.

5. Ancaman Bagi Kritik dan Pembela HAM

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, menambahkan bahwa kombinasi pasal-pasal penangkapan tanpa kontrol pengadilan ini sangat berbahaya bagi demokrasi. 

Pasal-pasal tersebut berpotensi digunakan sebagai alat pembungkam kritik (SLAPP) terhadap jurnalis, aktivis, dan pembela HAM.

"Orang bisa ditangkap hanya dengan tuduhan subjektif tanpa bukti kuat. Ini kekhawatiran terbesar kami," ujar Nurina.

Atas dasar kekacauan substansi tersebut, ditambah dengan masa sosialisasi yang sangat sempit (kurang dari 2 bulan sebelum berlaku efektif 2 Januari 2026), koalisi mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Koalisi menuntut Prabowo menunda keberlakuan KUHAP baru dan membuka kembali ruang revisi secara partisipatif guna menyelamatkan sistem peradilan pidana Indonesia dari potensi kejahatan struktural.

Mengenai KUHAP baru

  • KUHAP lama adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, berlaku sejak 31 Desember 1981.
  • KUHAP baru disahkan DPR pada 18 November  sebagai revisi UU No.8 Tahun 1981.
  • KUHAP baru akan berlaku efektif 2 Januari 2026, bersamaan dengan KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023).
Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved