Sabtu, 15 November 2025

Penculikan Balita di Makassar

5 Analisa Sosiolog Soal Penculikan Bilqis di Makassar, Mengapa Bisa Terjadi?

Kasus Bilqis bongkar disorganisasi sosial dan wajah baru kejahatan anak di era digital. Empati jadi alarm.

Editor: Glery Lazuardi
TribunSolo.com/Anang Maruf Bagus Yuniar
PENCULIKAN BILQIS - Rumah Nadia Hutri (29), pelaku penculikan bilqis di Sukoharjo, di Desa Kepuh, Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Senin (10/11/2025). Menurut informasi yang dihimpun, NH membeli rumah tersebut sekitar satu tahun lalu melalui program rumah subsidi. 

Ketiganya bekerja layaknya organ tubuh yang saling menopang.

Tetapi dalam kasus Bilqis, keseimbangan itu retak.

Keluarga modern sering kali terjebak dalam dilema antara kesibukan dan pengawasan, masyarakat kehilangan semangat kolektif; sementara negara lebih sering bersikap reaktif daripada proaktif.

"Inilah bentuk kegagalan sistemik yang melampaui kesalahan individu, sebuah potret bagaimana modernitas memproduksi ketidakhadiran moral di tengah kehadiran teknologi," kata Hadi.

Namun tidak semua kehilangan makna.

Ketika berita hilangnya Bilqis menyebar, media sosial berubah menjadi ruang solidaritas baru. 

Orang-orang yang tak saling kenal tiba-tiba terhubung oleh satu kepedulian: menemukan anak yang hilang.

Di sinilah modal sosial bekerja di ruang digital.

Kepercayaan, jaringan, dan empati yang dulu lahir dari tatap muka kini bertransformasi menjadi energi kolektif virtual.  

Meski tetap harus dicatat, kasus ini juga menyingkap wajah baru kejahatan, yaitu jaringan perdagangan anak yang memanfaatkan platform daring.

Dunia digital menyediakan topeng anonim bagi pelaku dan memperluas jangkauan mereka lintas provinsi.

Di sinilah kejahatan berubah menjadi jaringan ekonomi gelap, beroperasi dengan efisiensi kapitalisme, namun tanpa nurani.  

Baca juga: Sosok Nadia Hutri, Warga Sukoharjo Komplotan Pelaku Penculikan Bilqis, Dikenal Tak Pernah Aneh-aneh

Efektivitas Kebijakan Publik

Sementara itu, dari sudut sosiologi hukum, tragedi Bilqis menantang efektivitas kebijakan publik.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memang sudah ada, tetapi hukum sering kalah cepat dari modus kejahatan.

Hukum tanpa moral publik hanyalah teks beku, ia butuh dukungan kesadaran sosial agar hidup dan efektif.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved