Sabtu, 8 November 2025

5 Fakta tentang Akiya Jepang: Rumah Kosong Harga Murah hingga Gratis yang Ditawarkan Pemerintah

Akiya adalah rumah kosong di Jepang yang ditinggalkan selama lebih dari enam bulan tanpa penghuni. Jumlahnya terus meningkat.

Tangkap layar YouTube BBC World Service
AKIYA JEPANG - Tangkap layar YouTube BBC World Service, memperlihatkan contoh rumah yang terbengkalai di Jepang, yang biasa disebut akiya. Pemerintah Jepang menawarkan akiya dengan harga murah bahkan gratis untuk menarik penduduk baru. 
Ringkasan Berita:
  • Akiya adalah rumah kosong di Jepang yang ditinggalkan selama lebih dari enam bulan tanpa penghuni.
  • Jumlahnya terus meningkat, mencapai lebih dari 9 juta unit karena penurunan populasi dan urbanisasi.
  • Pemerintah Jepang menawarkan akiya dengan harga murah bahkan gratis untuk menarik penduduk baru.


TRIBUNNEWS.COM – 
Di Jepang, istilah akiya (空き家) merujuk pada rumah kosong yang ditinggalkan akibat perubahan demografi dan dinamika ekonomi yang kompleks.

Mengutip hospitalitynet.org, rendahnya angka kelahiran selama beberapa dekade, urbanisasi pesat, serta populasi yang menua telah menyebabkan banyak wilayah pedesaan ditinggalkan, meninggalkan jejak berupa ribuan rumah tradisional kosong.

Sering kali, para ahli waris mewarisi properti tersebut tetapi tidak mampu menanggung biaya perawatan atau renovasinya.

Sekitar 59 persen akiya merupakan properti warisan, sementara kebijakan pajak di Jepang justru menghambat pembongkaran bangunan lama, karena tanah kosong dikenakan pajak lebih tinggi dibanding tanah yang telah dibangun.

Kombinasi faktor-faktor ini membuat jumlah akiya terus meningkat di seluruh negeri.

Pada akhir tahun 2023, Jepang diperkirakan memiliki sekitar 9 juta akiya, atau 13,8?ri seluruh rumah di Jepang, dua kali lipat dari jumlah pada tahun 1993, menurut laporan Nippon.com tahun 2024.

Prefektur pedesaan seperti Wakayama dan Tokushima menghadapi tingkat kekosongan lebih dari 21 persen, sementara bahkan kota besar pun memiliki ratusan ribu rumah yang telah lama kosong.

Menurut Masaki Mori, PhD, Profesor Madya di Sekolah Bisnis Perhotelan EHL Swiss, berikut lima hal penting yang perlu diketahui tentang akiya.

DIBAYAR UNTUK PINDAH - Tangkap layar YouTube CNA Insider, memperlihatkan contoh rumah terbengkalai atau akiya yang ada di Jepang. Sejumlah negara menawarkan uang atau insentif bagi warga asing yang mau tinggal di negaranya. Jepang menawarkan akiya atau rumah kosong.
DIBAYAR UNTUK PINDAH - Tangkap layar YouTube CNA Insider, memperlihatkan contoh rumah terbengkalai atau akiya yang ada di Jepang. Sejumlah negara menawarkan uang atau insentif bagi warga asing yang mau tinggal di negaranya. Jepang menawarkan akiya atau rumah kosong. (Tangkap layar YouTube CNA Insider)

1. Akiya sebagai Peluang Investasi

Sekilas, akiya tampak seperti permata real estat murah bagi investor, namun sebenarnya menyimpan tantangan besar.

Sebagian besar berlokasi di daerah pedesaan dengan aktivitas ekonomi terbatas, membuat permintaan sewa dan prospek penjualan kembali tidak menentu.

Meski harga beli rendah, biaya renovasi bisa sangat tinggi, terutama untuk rumah tua yang memerlukan perbaikan struktural, instalasi modern, serta pemenuhan regulasi bangunan yang ketat.

Masalah hukum dan kepemilikan yang terfragmentasi menambah kerumitan, sementara nilai jual kembali yang rendah menurunkan likuiditas.

Tanpa permintaan lokal atau rencana bisnis yang jelas, misalnya mengubah properti menjadi guesthouse atau penginapan butik, akiya dapat berubah menjadi beban finansial.

Baca juga: 10 Negara yang Siap Membayar Warga Baru untuk Pindah ke Sana: Jepang Tawarkan Akiya

Namun, bagi investor yang berorientasi jangka panjang dan memiliki visi restoratif, akiya menawarkan nilai budaya, arsitektur, dan gaya hidup yang tak ternilai.

2. Akiya sebagai Penginapan dan Bisnis Wisata

Investor dapat memanfaatkan akiya sebagai properti terjangkau dengan potensi tinggi di sektor pariwisata.

Banyak akiya berupa kominka (rumah pertanian tradisional pra-Perang Dunia II) yang menarik bagi wisatawan pencinta pengalaman pedesaan autentik.

Agen real estat internasional kini juga masuk ke pasar ini, membantu pembeli asing mencari rumah impian di Jepang.

Model pemanfaatan yang umum meliputi:

  • Sewa jangka pendek gaya Airbnb, menggunakan kominka atau machiya (rumah kota) yang telah dipugar.
  • Hotel butik atau ryokan, yang mempertahankan desain tradisional sambil menambah fasilitas modern.
  • Co-living dan remote working spaces, dengan internet cepat dan suasana tenang bagi digital nomads.

3. Tantangan dan Pertimbangan

Meski menjanjikan, investasi akiya memiliki banyak risiko:

Biaya renovasi tinggi

Banyak rumah mengalami kerusakan struktural, rayap, jamur, atau instalasi listrik dan air yang usang.

Batasan hukum dan zonasi

Properti di lahan pertanian sering membutuhkan izin alih fungsi.

Undang-Undang Minpaku 2018 juga membatasi sewa jangka pendek hingga 180 hari per tahun tanpa izin hotel.

Kepemilikan kompleks

Pewarisan yang terfragmentasi sering mempersulit penjualan.

Investor asing juga menghadapi hambatan bahasa dan birokrasi.

Baca juga: 10 Negara yang Jarang Dikunjungi Turis untuk Kedua Kalinya

Permintaan musiman

Wisata pedesaan bergantung pada festival atau musim tertentu, sehingga pendapatan tidak stabil sepanjang tahun.

Pembiayaan sulit

Bank akan ragu mendanai properti terpencil dengan nilai jual kembali rendah.

Dengan demikian, studi kelayakan yang matang, kemitraan lokal, dan fleksibilitas finansial menjadi kunci sukses investasi akiya.

4. Dukungan dan Insentif Pemerintah

Untuk menekan penurunan populasi di pedesaan, pemerintah Jepang menawarkan berbagai insentif dan program revitalisasi akiya.

Banyak kota membuat “bank akiya”, yaitu basis data rumah kosong untuk dijual atau disewa dengan harga sangat rendah, beberapa bahkan hanya sekitar USD 500 (sekitar Rp8.316.000).

Selain itu, tersedia subsidi renovasi, hibah, dan keringanan pajak.

Undang-Undang Tindakan Khusus Rumah Kosong tahun 2015 memberi kewenangan kepada wali kota untuk memaksa pemilik memperbaiki atau merobohkan properti berbahaya serta mencabut keringanan pajak bagi yang abai.

Beberapa kota juga menyediakan visa startup, seperti di Imabari, bagi wirausahawan yang mau berinvestasi di bisnis lokal.

Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata Jepang bahkan menyediakan portal daring resmi yang memuat informasi lengkap tentang akiya (tersedia hanya dalam bahasa Jepang).

5. Strategi Investasi Akiya

Menurut Masaki Mori, berikut strategi utama bagi calon investor:

Telusuri bank akiya

Periksa daftar resmi pemerintah kota, verifikasi status kepemilikan, dan pahami syarat kependudukan.

Evaluasi kebutuhan renovasi

Gunakan jasa inspektur profesional dan anggarkan untuk perbaikan struktural, anti-rayap, dan fasilitas modern (termasuk pajak konsumsi 10 persen).

Pahami aturan lokal

Pelajari zonasi, izin minpaku, serta ketentuan visa dan izin kerja jika Anda mengelola properti sendiri.

Manfaatkan dukungan lokal

Hubungi kantor pariwisata dan perencanaan untuk panduan, hibah, atau pinjaman.

Pertahankan keaslian budaya

Lestarikan elemen tradisional seperti tatami, shoji, atau onsen, serta tawarkan aktivitas budaya seperti kuliner lokal atau tur pertanian untuk membedakan diri dari hotel konvensional.

Kisah Warga Australia yang Membeli Akiya di Jepang

Pasangan suami istri asal Brisbane, Australia, Deborah dan Jason Brawn memiliki impian untuk memiliki rumah di Jepang.

Pasangan ini telah lama jatuh cinta pada budaya dan gaya hidup Jepang setelah beberapa kali berkunjung ke Negeri Sakura selama bertahun-tahun.

Pada tahun 2023, mereka akhirnya memutuskan untuk mewujudkan impian itu.

Dengan keempat anak yang telah dewasa, Deborah dan Jason merasa kini adalah waktu yang tepat untuk mengejar mimpi lama mereka.

“Kami tahu Jepang punya masalah dengan akiya, dan karena kami sangat menyukai gaya hidup, orang-orang, budaya, serta rumah-rumah tradisional Jepang, kami berpikir, kenapa tidak?” kata Jason (51), dikutip dari artikel Business Insider pada Desember 2024.

Kisah cinta mereka dengan Jepang berawal dari Deborah, yang belajar bahasa Jepang di universitas pada tahun 1990-an.

Setelah lulus, ia pindah ke Tokyo selama lima tahun dan bekerja sebagai guru bahasa Inggris.

Selama tiga dekade, ia juga menekuni karate dan terus menjaga kedekatannya dengan budaya Jepang.

Kecintaannya itu kemudian menular pada Jason.

Selama pandemi, pasangan ini mulai mengenal istilah akiya.

Mereka mengetahui bahwa pemerintah Jepang memberikan berbagai insentif, seperti subsidi renovasi hingga properti gratis, untuk menarik penduduk baru ke daerah-daerah yang nyaris kosong.

“Saya sudah lama melihat-lihat properti sitaan, bahkan sebelum istilah ‘akiya’ populer,” kata Deborah (52). “Tapi waktu itu anak-anak masih kecil.”

Kini, dengan anak bungsu yang berusia 18 tahun, pasangan ini merasa saatnya tepat untuk memulai babak baru menjelang masa pensiun.

“Kami ingin punya proyek hidup sendiri. Seperti filosofi ikigai, kami ingin bangun setiap pagi dan berkata: inilah gairah hidup kami sekarang,” ujar Deborah, yang bekerja sebagai analis bisnis.

Karena perbatasan Jepang masih ditutup saat itu, Deborah dan Jason melakukan riset di internet, bergabung dengan grup Facebook pemburu akiya, dan berdiskusi dengan komunitas pembeli internasional.

Mereka menginginkan rumah di pedesaan, dekat alam, dan bergaya tradisional Jepang.

Setelah perbatasan setelah pandemi Covid-19 dibuka pada akhir 2022, mereka terbang ke Jepang untuk survei lapangan. Pada April 2023, mereka kembali untuk perjalanan enam minggu guna meninjau beberapa rumah dalam daftar mereka.

Di kota kecil Mitocho,  sekitar dua jam dari Hiroshima, mereka menemukan rumah impian: sebuah akiya tradisional dari era Meiji (1868).

“Begitu kami melihatnya, kami langsung tahu itu rumah yang tepat. Kami tidak mencari lagi setelah itu,” kenang Deborah.

Rumah tersebut telah kosong selama 12 tahun. Sebelumnya, bangunan itu pernah digunakan sebagai tempat pembuatan sake hingga awal 1900-an.

Saat membersihkan, pasangan itu bahkan menemukan papan nama pabrik sake dan beberapa peralatan lamanya.

Untuk membeli rumah tersebut, mereka harus mendaftar melalui bank akiya setempat — basis data resmi milik pemerintah daerah yang mencatat rumah-rumah kosong.

“Prosesnya sangat serius, semua formulir dalam bahasa Jepang,” kata Deborah. “Kami harus menuliskan semua detail pribadi dan menjelaskan apa rencana kami terhadap rumah itu.”

Proyek Pensiun yang Menantang

Pada Agustus 2023, pasangan itu resmi membeli akiya berukuran 7LDK (tujuh kamar tidur, ruang tamu, dan ruang keluarga) seharga 3,5 juta yen Jepang (sekitar Rp 350 juta).

Desa tempat mereka tinggal berpenduduk sekitar 300 orang, dengan toko 7-Eleven di seberang sawah dari rumah mereka.

Sejak itu, mereka telah merapikan taman, menambah jalan kerikil, memperbarui dapur, dan mengganti toilet lama dengan kamar mandi modern.

“Tujuannya adalah mengembalikan rumah ini ke kejayaannya dulu, tapi dengan satu atau dua sentuhan modern,” ujar Jason, seorang inspektur keselamatan kerja di bidang konstruksi.

Namun, merenovasi rumah berusia lebih dari 150 tahun bukanlah perkara mudah.

“Kami punya monyet, kelabang, beruang, dan tawon pembunuh. Saya bahkan pernah dikejar tawon di dalam rumah,” kata Deborah sambil tertawa.

Selain satwa liar, kendala bahasa juga menjadi tantangan tersendiri.

Pasangan ini kini membagi waktu antara Brisbane dan Jepang, dan berencana untuk sepenuhnya pindah dalam lima hingga delapan tahun ke depan. Mereka juga mendokumentasikan proses renovasi di kanal YouTube pribadi.

Menyatu dengan Komunitas Lokal

Baca juga: 10 Tempat Terlarang di Dunia, Tidak Bisa Didatangi Turis

Saat mereka kembali ke Australia, mereka memasang kamera pengawas di rumahnya di Jepang. Agen real estat yang membantu pembelian kini memeriksa rumah itu setiap minggu atas nama mereka.

Pasangan ini telah bergabung dengan asosiasi lingkungan dan aktif dalam kegiatan masyarakat. Pada September lalu, mereka bahkan ikut membersihkan sungai bersama warga desa.

Keterlibatan sosial, kata mereka, merupakan kunci sukses proyek akiya.

“Kami punya jaringan dukungan yang baik, tapi itu tidak datang begitu saja. Kami harus berusaha keras,” ujarnya.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved