Tribunners / Citizen Journalism
Melawan Bullying dan Normalitas Kekerasan: Dari Solidaritas ke Empati
Tragedi bunuh diri mahasiswa akibat bullying ungkap banalitas kekerasan dan krisis empati di dunia akademik.
Angga T. Sanjaya
- Pengajar Linguistik Terapan di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD
- Lahir di Wonosari, Gunungkidul
Riwayat Pendidikan
- Universitas Ahmad Dahlan S1 Tahun Lulus 2013
- Universitas Negeri Yogyakarta S2 Tahun Lulus 2020
TRIBUNNEWS.COM - Peristiwa bunuh diri mahasiswa yang diduga mengalami perundungan oleh rekan-rekannya tersebar cepat di tengah hiruk pikuk linimasa. Publik menyesalkan, mengutuk, berdoa, lalu melanjutkan hidup, sementara luka sosial yang lebih dalam tetap tak terobati.
Di permukaan, peristiwa ini tampak seperti kasus individu, relasi kuasa antara senior dan junior, antara yang kuat dan yang lemah. Namun bila kita melihat lebih jauh, tragedi ini bukan sekadar kegagalan personal, melainkan potret dari sesuatu yang telah lama menubuh dalam kultur sosial kita, kekerasan yang dinormalisasi, bahkan dianggap bagian dari pembentukan karakter.
Kekerasan yang Terbungkus Keakraban
Kekerasan simbolik sering kali berjalan secara subtil. Pierre Bourdieu menjelaskan kekerasan semacam ini bekerja tanpa paksaan fisik, tapi justru lebih efektif karena diterima secara sukarela oleh korban. Dalam logika itu, relasi senior-junior, organisasi, bahkan tradisi kampus bisa menjadi sarana legitimasi. Kekerasan tidak lagi hadir sebagai tindakan brutal, tetapi sebagai ritual yang diberi makna: “pembinaan,” “pendewasaan,” “penempaan mental.”
Di titik inilah bahaya simbolik bekerja. Ketika kekuasaan dibungkus dengan solidaritas, dominasi tak lagi terasa sebagai penindasan, melainkan sebagai kewajaran. Apabila dirunut dari awal, mahasiswa baru yang dicemooh di depan umum, diperintah melakukan hal memalukan, atau ditekan secara psikologis, sering kali tidak menolak karena percaya itu bagian dari “proses menjadi kuat.” Dalam bahasa Bourdieu, tubuh dan kesadaran korban telah dikonstruksi oleh habitus yang membuat kekerasan tampak masuk akal.
Kampus, yang seharusnya menjadi ruang pembebasan, berubah menjadi miniatur masyarakat yang meniru hierarki sosial di luar dirinya. Kekuasaan diorganisir dalam bahasa keakraban, dan kekerasan hadir dalam bentuk senyum.
Kematian sebagai Tanda Retaknya Solidaritas
Lebih jauh, tragedi ini menunjukkan bahwa bunuh diri bukan hanya sebagai peristiwa individual, tetapi sebagai gejala sosial. Bunuh diri sering kali terjadi ketika individu kehilangan ikatan sosial yang bermakna, entah karena terlalu longgar (anomic) atau terlalu menekan (fatalistic).
Dalam konteks kampus, tekanan sosial bisa menjadi bentuk fatalisme baru: individu terhimpit oleh ekspektasi, norma kelompok, dan tuntutan untuk patuh. Solidaritas yang semula dimaksudkan untuk mempererat justru berubah menjadi sangkar sosial. Mahasiswa yang diserang, direndahkan, atau dipermalukan kehilangan ruang untuk bernapas. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai bagian dari komunitas, melainkan objek yang diawasi.
Ketika Durkheim berbicara tentang anomie, ia menyinggung kerapuhan makna hidup yang muncul saat tatanan moral tidak lagi memberi arah. Dalam kasus ini, anomie terjadi bukan karena ketiadaan norma, melainkan karena norma itu sendiri berubah menjadi alat tekanan.
Solidaritas yang mestinya menyembuhkan malah melukai. Tragedi mahasiswa bunuh diri adalah retakan besar dalam keyakinan kita bahwa dunia pendidikan tinggi selalu identik dengan akal budi dan kemanusiaan. Ia mengingatkan bahwa institusi bisa gagal melindungi manusianya, ketika rasa kebersamaan lebih diukur dari kepatuhan ketimbang empati.
Banalitas Kekerasan: Ketika Semua Terlihat Wajar
Hannah Arendt, dalam analisisnya tentang “banalitas kejahatan,” menyebut bahwa kekerasan terbesar sering dilakukan bukan oleh orang jahat, tetapi oleh mereka yang berhenti berpikir. Dalam konteks bullying, para pelaku mungkin tidak melihat diri mereka sebagai pelaku kekerasan. Mereka merasa sedang bercanda, menjalankan tradisi, atau “menegakkan aturan.”
Itulah yang membuat kekerasan menjadi banal, sesuatu berlangsung di tengah kehidupan sehari-hari, di ruang yang penuh tawa, di bawah alasan yang tampak masuk akal. Tidak ada kebencian yang ekstrem, tidak ada niat untuk membunuh, hanya kepatuhan terhadap sistem nilai yang tidak lagi diperiksa. Ketika empati tergantikan oleh rutinitas, kejahatan bisa tumbuh dari kebiasaan yang tampak biasa.
Di sinilah kekerasan simbolik Bourdieu dan banalitas Arendt saling bersinggungan. Keduanya menunjukkan bahwa kekuasaan tidak selalu memerlukan kekerasan fisik. Ia bisa lahir dari kebiasaan, dari tradisi yang diterima mentah-mentah, dari lelucon yang dianggap sepele tapi mengikis harga diri seseorang perlahan-lahan.
Krisis Refleksi di Dunia Akademik
Kasus bullying yang berujung kematian ini juga mengungkap krisis yang lebih mendasar: dunia akademik kita semakin kehilangan kemampuan reflektif. Kita mendidik untuk berkompetisi, bukan untuk berempati. Kita mengajarkan disiplin, tapi jarang membicarakan luka.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
| Komodifikasi Bahasa Daerah dalam Logika Pasar Linguistis |
|
|---|
| Fakta Surat yang Ditemukan di Samping Jenazah Siswi MTs Sukabumi, Dugaan Perundungan Diselidiki |
|
|---|
| Korban Dugaan Bullying di Sukabumi Sempat Mengeluh Ingin Pindah Sekolah |
|
|---|
| 5 Kasus Bullying di Dunia Pendidikan Oktober 2025 |
|
|---|
| BNPT Sebut Korban Bullying Berpotensi Terpapar Radikalisme hingga Jadi Pelaku Terorisme |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.