Senin, 10 November 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ledakan di Jakarta Utara

Ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kita Lagi-Lagi Terlambat Tangani Bullying

Ledakan di Masjid SMAN 72: FN, korban bullying, kini jadi pelaku. Bukti pahit keterlambatan kita menangani perundungan.

Editor: Glery Lazuardi
KOMPAS.com/Karnia Septia Kusumaningrum
REZA INDRAGIRI- FN, pelajar SMAN 72, diduga meledakkan masjid sekolah. Ia disebut korban bullying yang tak kunjung tertolong. 

Reza Indragiri Amriel

  • Konsultan Yayasan Lentera Anak
  • Ahli Psikologi Forensik

Tempat/Tanggal Lahir

Jakarta, Indonesia 19 Desember 1974 (umur 50)

Riwayat Pendidikan 

  • Universitas Gadjah Mada
  • Universitas Melbourne

Pekerjaan

Dosen

TRIBUNNEWS.COM - Insiden ledakan terjadi di Masjid SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) siang atau pada saat ibadah Salat Jumat sedang berlangsung.

Terduga pelaku ledakan sudah diketahui. Dia adalah seorang pelajar kelas XII SMAN 72 Jakarta yang berinisial FN. Berdasarkan keterangan saksi yang mengetahui keseharian FN, dia adalah korban bullying. 

Korban bullying adalah individu yang mengalami tindakan agresif, menyakitkan, atau merendahkan secara berulang dari orang lain, baik secara fisik, verbal, sosial, maupun melalui media digital (cyberbullying).

Peledakan di SMAN 72 kita asumsikan berhubungan dengan bullying ya. Itu narasi yang sudah beredar luas. 

Dari kerja-kerja saya di sejumlah organisasi perlindungan anak, saya harus katakan bahwa peristiwa di SMAN 72 adalah satu bukti tambahan tentang bagaimana kita lagi-lagi terlambat menangani perundungan.

Keterlambatan itu membuat korban, setelah menderita sekian lama, akhirnya bertarung sendirian dan dalan waktu sekejap bergeser statusnya menjadi pelaku kekerasan, pelaku brutalitas, dan julukan-julukan berat sejenis lainnya. 

Korban bullying acap mengalami viktimisasi berulang. 

Viktimisasi adalah proses di mana seseorang menjadi korban akibat tindakan orang lain, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun hukum.

Viktimisasi pertama saat dia dirundung teman-temannya. Viktimisasi kedua terjadi saat korban mencari pertolongan.

Oleh pihak-pihak yang semestinya memberikan bantuan, korban justru diabaikan, masalahnya dianggap sepele dan biasa, dipaksa bertahan dan cukup berdoa, dst. 

Andai mereka melapor ke polisi, misalnya, polisi pun boleh jadi memaksa korban untuk memaafkan pelaku dan secara simplistis menyebutnya sebagai restorative justice.

Sehingga, terjadilah viktimisasi ketiga.

Puncak kesengsaraan korban: kekerasan terhadap diri sendiri atau kekerasan terhadap pihak lain. 

Belum sempat kita memberikan pertolongan kepada dia selaku korban, justru hukuman berat yang tampaknya sebentar lagi akan kita timpakan kepada dia sebagai pelaku. Getir, menyedihkan. 

Sembilan puluhan persen anak yang menjadi pelaku bullying ternyata juga berstatus sebagai korban bullying.

Data ini membuat persoalan tidak bisa dipandang hitam putih belaka. Idealnya, perilaku perundungan tidak lagi ditinjau sebatas sebagai dinamika jamak dalam proses perkembangan anak. 

Perilaku perundungan sudah semestinya disikapi sebagai agresi berkepanjangan dari anak-anak yang mengekspresikan dirinya dengan cara berbahaya, sehingga harus dicegat secepat dan seserius mungkin. 

Menjadikan bullying sebagai perkara pidana pun masuk akal. 

Tambahan lagi, karena siswa dimaksud masih berusia anak-anak, maka kita harus membuka UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

SPPA itu mengingatkan bahwa anak yang melakukan pidana tetap harus dipandang sebagai insan yang memiliki  masa depan. Negara, termasuk masyarakat, membersamainya menuju masa depan. 

Bagaimana UU SPPA mewanti-wanti sedemikian rupa menginsafkan kita bahwa pada dasarnya pertanggungjawaban pidana (penjara dll.) memang dikenakan kepada ybs. Tapi proses hukum harus meninjau secara multidimensi dan multifaktor. 

Karena itulah, di persidangan kasus korban bullying menjadi pelaku, saya selalu mendorong hakim agar menerapkan Bioecological Model (BM) dan Interactive Model (IM).

BM meninjau lima lingkungan yang menaungi kehidupan anak. IM melihat anak dan lingkungannya berpengaruh satu sama lain. 

Memang butuh kerja keras lintas pemangku kepentingan untuk merealisasikannya. Itu bertentangan dengan azas persidangan hukum "cepat, sederhana, berbiaya ringan".

Karena itulah, simpulan saya, putusan hakim tetap saja memakai format penyikapan yang sama dengan persidangan terhadap pelaku dewasa.

Yakni, sulit bagi korban bullying mendapat peringanan sanksi. Dia tetap sendirian menjalani konsekuensi hukum atas 'aksi kejahatan'-nya.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved