Selasa, 11 November 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Wonderful Indonesia: Paradoks Promosi Tanpa Pintu Digital

Kampanye pariwisata Indonesia menarik perhatian global, tapi gagal dikonversi karena minim ekosistem digital.

Editor: Glery Lazuardi
IST
WONDERFUL INDONESIA - Iklan Wonderful Indonesia di Berlin memukau, tapi wisatawan asing gagal menemukan pintu masuk digitalnya. 

Muhammad Rahmad

  • Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia
  • Profesional dengan pengalaman sangat luas di bidang pariwisata, diplomasi, dan pendidikan.
  • Dosen Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti, Jakarta

Muhammad Rahmad memiliki 14 tahun pengalaman sebagai CEO dan Direktur Utama di perusahaan korporasi bidang pariwisata inbound & outbound, hotel, haji & umrah, investasi, manajemen teknologi informasi, dan perdagangan internasional. 

Selain itu, ia juga memiliki 12 tahun pengalaman sebagai Pimpinan dan Anggota Aktif berbagai Asosiasi Pariwisata seperti WTO, IATA, KADIN, ASITA, KESTHURI, dan AMPHURI.

TRIBUNNEWS.COM - Bayangkan Anda seorang wisatawan Jerman yang baru saja melihat iklan Wonderful Indonesia di bus keliling Berlin. 

Visual Borobudur yang megah, Lake Toba yang memukau, dan Bali yang eksotis berhasil mencuri perhatian Anda. Tertarik, Anda mengambil ponsel untuk mencari informasi lebih lanjut. Dan di sinilah perjalanan impian itu berubah menjadi mimpi buruk digital.

Tidak ada satu aplikasi pun yang bisa memberitahu Anda: bagaimana cara ke Lake Toba dari Jakarta? Berapa biaya totalnya? Di mana membeli tiket pesawat domestik? Hotel mana yang recommended? Bagaimana mengurus visa? Anda harus membuka puluhan website berbeda, aplikasi yang tidak sinkron, dan akhirnya... Anda memilih Thailand yang menawarkan semua itu dalam satu platform terintegrasi.

Inilah tragedi Wonderful Indonesia: kampanye miliaran rupiah yang berakhir sebagai "window shopping" tanpa pintu masuk.

Investasi Besar, Hasil Mengecewakan

Data menunjukkan ironisitas yang menyakitkan. Pada Juli 2025, Indonesia meluncurkan kampanye Open Bus Tour dan Out-of-Home advertising yang "sangat sukses" di Berlin, menampilkan destinasi ikonik seperti Bali, Lake Toba, dan Candi Borobudur. Kampanye serupa juga digelar di Roma selama sebulan penuh (1-31 Juli 2025) dengan target minimal 144.000 pengunjung Italia dari total 2,7 juta wisatawan Eropa yang diharapkan untuk tahun 2025.

Namun realitasnya? Dengan total budget Kemenparekraf sekitar Rp 3,4-3,6 triliun per tahun dan estimasi budget marketing hanya Rp 350-500 miliar, Indonesia hanya mampu menarik 13,9 juta wisatawan mancanegara di 2024 - masih di bawah level pre-pandemi 16,1 juta di 2019. Dari jumlah tersebut, mayoritas masih terkonsentrasi di Bali. Wisatawan Eropa? Masih jauh dari target yang diharapkan.

Bandingkan dengan Thailand yang dengan budget marketing US$ 100-150 juta (hampir 5 kali lipat Indonesia) berhasil menarik 35,5 juta wisatawan di 2024. Atau Singapore yang dengan budget US$ 200+ juta mencatat 16,5 juta wisatawan dengan spending tertinggi di ASEAN.

Teori vs Realitas: Digital Marketing yang Pincang

Menurut teori pemasaran pariwisata modern yang dikembangkan Philip Kotler dan Christian Grönroos, sebuah kampanye harus mengikuti model AIDA yang diperluas: Attention → Interest → Desire → Action → Experience → Advocacy. Indonesia berhasil di tahap Attention dan Interest, namun gagal total di tahap Action karena tidak ada sistem yang memfasilitasi konversi dari ketertarikan menjadi pembelian aktual.

Profesor pemasaran digital dari Cornell University tersebut menekankan pentingnya "seamless digital journey" - dari discovery hingga booking harus dapat diselesaikan dalam satu ekosistem digital. Bahkan menurut teori Customer Journey Mapping yang dipopulerkan oleh McKinsey & Company dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh David Court et al. dalam "The Consumer Decision Journey" menyatakan bahwa setiap "friction point" dalam proses pembelian dapat mengurangi conversion rate hingga 70 persen.

Indonesia memiliki setidaknya 7 friction points:

1. Informasi destinasi tersebar di berbagai website

2. Booking harus melalui OTA pihak ketiga (Traveloka, Tiket.com, Agoda)

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved