Tribunners / Citizen Journalism
Wonderful Indonesia: Paradoks Promosi Tanpa Pintu Digital
Kampanye pariwisata Indonesia menarik perhatian global, tapi gagal dikonversi karena minim ekosistem digital.
3. Visa melalui platform VFS Global yang terpisah
4. Tidak ada trip planner terintegrasi
5. Informasi transportasi lokal tidak real-time
6. Tidak ada unified payment system
7. Customer service terfragmentasi
Setiap friction point ini, menurut riset McKinsey, dapat mengurangi kemungkinan konversi hingga 20%. Dengan 7 friction points, praktis hanya 21?ri calon wisatawan yang tertarik akan benar-benar melakukan perjalanan.
Best Practice yang Diabaikan
Mari kita lihat bagaimana negara-negara sukses menerapkan teori ini:
Singapore dengan "Visit Singapore" app-nya menawarkan semua dalam satu platform: informasi destinasi, booking hotel, tiket atraksi, Singapore Tourist Pass untuk transportasi, bahkan chatbot AI "Merli" yang siap membantu 24/7. Hasilnya? Revenue per tourist mencapai $1,700, tertinggi di ASEAN.
Dubai melangkah lebih jauh dengan Dubai Pass system yang mengintegrasikan semua layanan wisata, dari visa hingga tour virtual, dalam satu aplikasi. Dilengkapi dengan personalization engine yang memberikan rekomendasi berdasarkan preferensi pengguna.
Thailand dengan kampanye "Amazing Thailand" menyediakan platform terintegrasi yang memungkinkan wisatawan merencanakan seluruh perjalanan, dari visa hingga booking aktivitas lokal, dalam satu sistem. Mereka bahkan memiliki Thailand Pass yang menjadi single point of entry untuk semua kebutuhan wisatawan.
All Indonesia App: Terlalu Sedikit, Terlambat
Memang, pada 2025 Indonesia meluncurkan aplikasi "All Indonesia" yang mengintegrasikan layanan dari empat instansi pemerintah - Imigrasi, Bea Cukai, Kesehatan, dan Karantina. Namun aplikasi ini hanya fokus pada proses kedatangan wisatawan internasional, bukan sistem menyeluruh untuk seluruh perjalanan wisata.
Ada pula TIC Digital Nusantara yang diluncurkan Oktober 2024, namun platform ini belum mencakup transaksi end-to-end dan masih bergantung pada OTA pihak ketiga untuk booking aktual. Fragmentasi ini menciptakan pengalaman yang membingungkan bagi wisatawan internasional, terutama dari Eropa yang terbiasa dengan sistem terintegrasi.
Ironisnya, Indonesia sudah memiliki pengalaman sukses dengan Indonesia National Single Window (INSW) untuk ekspor-impor sejak 2010. Sistem ini berhasil mengintegrasikan berbagai layanan publik secara nasional dengan dukungan SDM berkualitas, stakeholder, proses bisnis, dan sistem yang baik. Mengapa konsep serupa tidak diterapkan untuk pariwisata?
Kesenjangan Digital yang Memperparah
Data menunjukkan Indonesia memiliki tantangan infrastruktur digital yang serius. Kecepatan broadband tetap Indonesia berada di peringkat kedelapan dari 11 negara Asia Tenggara. Regulasi yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah semakin menghambat investasi di sektor digital.
Lebih memprihatinkan lagi, pekerja sektor teknologi hanya mewakili 0,8?ri angkatan kerja Indonesia. Ini berarti kapasitas untuk mengembangkan dan memelihara sistem digital terintegrasi sangat terbatas. Bagaimana mungkin membangun ekosistem digital pariwisata yang sophisticated dengan SDM yang minim?
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
| 5 Spot Wisata Dekat Lokasi Syuting Abadi Nan Jaya, Khas Alam Indonesia! |
|
|---|
| Hidupkan Kawasan Pasar Baru, Pemprov DKI Hadirkan Rute Baru Open Top Tour of Jakarta |
|
|---|
| Pengamat: Tanpa Nomor Register Kemendagri, Raperda ASK Bali Tak Bisa Diterapkan |
|
|---|
| Brantas Abipraya Implementasikan Program Pengelolaan Sampah Ramah Lingkungan di Likupang Sulut |
|
|---|
| InJourney Dorong Ekosistem Pariwisata yang Berkelanjutan |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.