Permintaan Melonjak, LNG Indonesia Masih Kompetitif di Fase Transisi Energi Dunia
Posisi Indonesia di pasar gas alam cair (LNG) Asiadinilai masih kuat meski menghadapi persaingan ketat dari Amerika Serikat dan Qatar.
Ringkasan Berita:
- Posisi Indonesia di pasar gas alam cair (LNG) Asiadinilai masih kuat meski menghadapi persaingan ketat dari Amerika Serikat dan Qatar.
- Permintaan LNG di kawasan Asia Tenggara akan tumbuh pesat dalam 5–10 tahun mendatang.
- Dukungan regulasi dan kebijakan dari pemerintah menjadi faktor penting agar penerapan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) di Indonesia dapat berkembang pesat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia dinilai masih memiliki posisi kuat di pasar gas alam cair (LNG) Asia meski menghadapi persaingan ketat dari Amerika Serikat dan Qatar.
Hal ini disampaikan Joshua Ngu, Vice Chairman Asia Pasifik Wood Mackenzie di sela penyelenggaraan Abu Dhabi International Petroleum Exhibition and Conference (ADIPEC) 2025 di Kota Abu Dhani, Uni Emirat Arab, Rabu (5/11/2025).
“Indonesia pernah menjadi produsen LNG terbesar di dunia hingga 2005. Dua puluh tahun kemudian, kini Indonesia berada di posisi kedelapan. Meski demikian, proyek-proyek seperti Abadi dan Tangguh masih sangat kompetitif di pasar global,” kata Ngu.
Baca juga: Perkuat Pasokan Listrik, FSRU Lampung Terima Kargo LNG dari Lapangan Tangguh Papua
Menurutnya, kedua proyek tersebut berpotensi besar menarik investasi baru di tengah meningkatnya permintaan gas di Asia Tenggara dan Asia Timur.
“Banyak pembeli kini mencari sumber pasokan di luar Amerika Serikat untuk diversifikasi. Indonesia, dengan proyek-proyek barunya seperti Kutai Basin dan Bontang LNG, bisa menjadi alternatif penting,” ujarnya.
Permintaan LNG Asia Tenggara Melonjak
Ngu menilai permintaan LNG di kawasan Asia Tenggara akan tumbuh pesat dalam 5–10 tahun mendatang. Proyeksi Wood Mackenzie menyatakan, konsumsi LNG di kawasan ini akan melonjak dari sekitar 30 juta ton menjadi 110 juta ton per tahun pada 2050.
“Pertumbuhan ini didorong oleh kebutuhan gas untuk pembangkit listrik dan menurunnya produksi domestik di sejumlah negara Asia Tenggara,” jelasnya.
“Indonesia punya posisi geografis strategis untuk memasok energi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi kawasan.”
CCUS untuk Pembiayaan Proyek Baru
Dalam konteks pembiayaan proyek energi yang kini semakin menuntut kepatuhan terhadap standar Environmental, Social, and Governance (ESG), Ngu menilai Indonesia cukup siap.
Dia menekankan pemerintah dan pelaku industri yang mulai mengintegrasikan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dalam proyek besar seperti Tangguh dan Abadi.
“Financier kini lebih terbuka mendanai proyek gas, asalkan rendah emisi karbon. Proyek yang mengadopsi CCUS akan lebih mudah mendapatkan pendanaan,” ujar Ngu.
Ia menambahkan, dukungan regulasi dan kebijakan dari pemerintah menjadi faktor penting agar penerapan CCUS di Indonesia dapat berkembang pesat.
| Bahlil Sebut 18 Proyek Hilirisasi Rp 600 Triliun Mulai Jalan 2026 |
|
|---|
| Pakar Ingatkan Kelangkaan Energi Bisa Guncang Stabilitas Pemerintahan |
|
|---|
| Ubah Limbah Sawit Jadi Listrik Hijau, PLTBg Sei Mangkei Sabet Sertifikat Pengurangan Emisi |
|
|---|
| PGN Mulai Bangun Titik Injeksi Biomethane di Pagardewa Sumsel |
|
|---|
| Koperasi Indonesia Masuk Migas, Kemenkop Dorong Transformasi Pengelolaan Tambang |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.