Top Rank
10 Negara dengan Aturan Tunjangan Pensiun DPR: AS Minimal Usia 62 Tahun, Beda dari Indonesia
Banyak negara telah mereformasi skema pensiun DPR mereka untuk mengurangi beban fiskal, sementara di Indonesia tengah digugat
Pensiun untuk MP dan legislatif provinsi dirancang untuk mendukung retensi, meski ada kritik atas biaya.
10. Selandia Baru
Anggota Parlemen Selandia Baru menerima subsidi superannuation hingga 20 persen gaji, dengan rasio 2,5:1 (majikan cocok 2,5 kali kontribusi anggota).
Tidak ada pensiun defined benefit tradisional; ini lebih seperti skema tabungan pensiun pribadi.
Pensiun diambil selaras dengan usia pensiun nasional (65 tahun), dan termasuk tunjangan perjalanan pasca-pensiun untuk mantan perdana menteri.
Sistem ini mendorong MP untuk "lead by example" dengan memangkas subsidi jika diperlukan, menekankan kesederhanaan dan keadilan.
Bagaimana dengan Pensiunan DPR RI?
Setelah melihat tren global di atas, di mana banyak negara beralih ke model kontribusi untuk mengurangi beban negara, aturan pensiun anggota DPR di Indonesia menjadi sorotan kritik.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980, anggota DPR RI berhak atas pensiun seumur hidup setelah satu periode (lima tahun) layanan, bahkan bisa diwariskan ke ahli waris.
Pensiun non-kontributori ini sepenuhnya dibiayai dari APBN, dengan total biaya mencapai Rp226 miliar per tahun.
Nilai pensiun berkisar Rp401.894 hingga Rp3.639.540 per bulan, tergantung masa jabatan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000.
Kritik utama mirip dengan yang dialami India, sistem ini dianggap tidak adil karena masa layanan pendek dibandingkan pegawai negeri lain (misalnya, ASN butuh 10-35 tahun), menciptakan ketimpangan fiskal dan membebani pembayar pajak.
Dalam sidang MK baru-baru ini (Perkara 176/PUU-XXIII/2025), pemohon menyoroti aspek moralitas, seperti rendahnya kinerja DPR (kehadiran sidang rendah), yang tidak sepadan dengan fasilitas.
Aspirasi publik, didukung petisi 88.834 tanda tangan, menuntut penghapusan pensiun seumur hidup ini karena bertentangan dengan prinsip keadilan dalam UUD 1945.
Jika MK menyatakan inkonstitusional, ini bisa jadi langkah reformasi seperti di Australia atau Kanada.
Permohonan uji materiil terhadap UU No 12 Tahun 1980 adalah tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.
Para pemohon ini mengajukan uji materiil terhadap Pasal 1 Huruf B, Pasal 1 Huruf F, dan Pasal 12 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 1980, yang dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mereka menilai bahwa pemberian pensiun kepada anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun tidak adil dan membebani keuangan negara.
Adapun mulanya jumlah penggugat ada dua orang yakni Lita Linggayani Gading atau dr. Lita Gading dan Syamsul Jahidin, kini bertambah menjadi sembilan orang pemohon.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi dan daerah, bersatu menyuarakan ketidakadilan dalam pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun.
Persidangan yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (23/10/2025) dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, didampingi oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, merupakan lanjutan dari sidang pendahuluan pada Jumat (10/10/2025) lalu.
Dalam kasus ini, para Pemohon—Lita yang bekerja sebagai psikolog serta Syamsul yang merupakan mahasiswa dan juga advokat—mengajukan uji terhadap Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat (1) UU 12/1980.
Menurut mereka, ketentuan-ketentuan itu dianggap melanggar prinsip keadilan dan kesamaan di depan hukum seperti yang dijamin oleh UUD NRI 1945.
Saat menyampaikan perbaikan permohonan, Syamsul Jahidin menjelaskan bahwa jumlah Pemohon dalam perkara ini meningkat dari awalnya dua orang menjadi sembilan orang.
“Selain itu, di halaman 6 poin 4 kami menegaskan bahwa perkara ini bukan nebis in idem, karena sebelumnya ada pengujian undang-undang serupa dengan Nomor Perkara 41/PUU-XI/2013,” kata Syamsul di depan Majelis Hakim, dikutip dari laman MK.
Syamsul juga menerangkan bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai warga negara Indonesia yang hak konstitusionalnya berpotensi terganggu oleh penerapan norma-norma dalam pasal-pasal yang diuji.
“Hak-hak kami berpotensi dilanggar oleh keberadaan penerapan norma-norma itu,” ungkapnya.
Di samping itu, para Pemohon juga menyajikan perbandingan dengan kebijakan pensiun di berbagai negara, serta melampirkan petisi yang didukung oleh 88.834 tanda tangan dari masyarakat Indonesia sebagai wujud aspirasi publik yang mendukung penghapusan tunjangan pensiun bagi Anggota DPR RI.
Dalil Permohonan
Baca juga: Ferry Irwandi Soroti Tunjangan Pensiun DPR, Minta Dihapus Karena Jadi Beban Fiskal
Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diadakan pada Jumat (10/10/2025), para Pemohon mengemukakan bahwa frasa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat” dalam Pasal 1 huruf a UU 12/1980 menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan hukum.
Menurut mereka, ketentuan itu memungkinkan Anggota DPR RI yang hanya bertugas selama satu periode (lima tahun) untuk mendapatkan pensiun seumur hidup yang bahkan bisa diwariskan.
“Ini bertentangan dengan prinsip keadilan serta asas negara hukum yang berfokus pada kesejahteraan rakyat,” kata Syamsul tanpa pendampingan kuasa hukum.
Para Pemohon menilai bahwa pemberian pensiun seumur hidup untuk anggota DPR menciptakan beban keuangan negara yang tidak seimbang. Berdasarkan data yang dikemukakan, total biaya pensiun anggota DPR RI mencapai Rp226,015 miliar, yang seluruhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kerugian yang kami rasakan bersifat konkret dan potensial. Sebagai pembayar pajak, kami merasa bahwa penggunaan dana pajak untuk pensiun DPR yang hanya menjabat lima tahun merupakan bentuk ketidakadilan fiskal,” tambah Syamsul.
Perbandingan dan Pertimbangan
Dalam permohonannya, para Pemohon juga membahas perbandingan dengan sistem pensiun di lembaga negara lainnya. Untuk Hakim Agung, Anggota BPK, ASN, TNI, dan Polri, masa kerja yang menjadi dasar pensiun biasanya antara 10 hingga 35 tahun.
Sementara itu, bagi anggota DPR, masa jabatan hanya satu hingga lima tahun, tetapi mereka tetap berhak atas pensiun seumur hidup.
Para Pemohon juga menyebutkan praktik di beberapa negara lain.
Di Amerika Serikat dan Inggris, hak pensiun anggota parlemen didasarkan pada masa jabatan, usia, dan kontribusi.
Di Australia, sistem pensiun berbasis kontribusi telah diterapkan sejak 2004, sementara di India, pensiun seumur hidup bagi anggota parlemen masih berlaku tetapi sering dikritik oleh publik karena dianggap membebani anggaran negara, kondisi yang menurut Pemohon mirip dengan di Indonesia.
Selain isu hukum dan keuangan, para Pemohon juga menyoroti aspek moral dan kinerja DPR yang dianggap belum sebanding dengan fasilitas serta tunjangan yang diterima.
Mereka mengutip opini publik tentang rendahnya tingkat kehadiran dalam sidang paripurna serta perilaku anggota DPR yang dinilai tidak mencerminkan tanggung jawab sebagai perwakilan rakyat.
Berdasarkan aturan saat ini, anggota DPR RI menerima pensiun antara Rp401.894 hingga Rp3.639.540, tergantung pada masa jabatan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000.
Namun, para Pemohon berargumen bahwa ketentuan itu tetap tidak adil karena memberikan pensiun seumur hidup untuk jabatan politik yang bersifat sementara.
Melalui permohonan ini, para Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan dalam UU 12/1980 yang memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
(Tribunnews.com/Chrysnha)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.