Rabu, 29 Oktober 2025

Komunitas Uighur Sebut Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi sebagai Simbol Harapan

Terpilihnya Sanae Takaichi sebagai Perdana Menteri Jepang menandai titik balik politik Negeri Sakura dan memunculkan harapan baru bagi Asia.

Editor: Wahyu Aji
Richard Susilo
PM JEPANG BARU - Sanae Takaichi menunggu keputusan pemunngutan suara di sidang khusus parlemen. Terpilihnya Sanae menandai titik balik politik Negeri Sakura dan memunculkan harapan baru bagi Asia. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpilihnya Sanae Takaichi sebagai Perdana Menteri Jepang menandai titik balik politik Negeri Sakura dan memunculkan harapan baru bagi masyarakat di Asia, termasuk komunitas Uighur.

Dalam beberapa dekade terakhir, Takaichi dikenal sebagai sosok berprinsip kuat dengan komitmen terhadap kebenaran, keamanan nasional, dan kemandirian ekonomi.

Nilai-nilai itu dinilai dapat menjadi penopang bagi negara-negara Asia untuk melawan pengaruh otoriter yang kian meluas.

“Sebagai seorang Uighur yang menyaksikan langsung kebrutalan Beijing, saya memandang pilihan Jepang ini sangat simbolis. Ini menunjukkan bahwa keadilan, keberanian, dan kebebasan masih dijunjung tinggi di Asia,” ujar politikus diaspora Uighur, Shohret Hoshur, dalam artikelnya dikutip dari Bitter Winter, Rabu (29/10/2025).

“Atas nama rakyat Uighur, saya menyampaikan ucapan selamat yang tulus kepada Perdana Menteri Takaichi dan rakyat Jepang,” sambungnya.

Menurut Hoshur, hubungan historis antara Jepang dan Uighur bukanlah kebetulan, melainkan terbentuk dari pengalaman geopolitik yang serupa: sama-sama menghadapi tekanan ekspansionisme Tiongkok.

“Bagi kami, Tiongkok dulu hanya tetangga, kini menjadi penjajah. Kami telah hidup di bawah penindasan selama beberapa generasi," kata Hoshur.

Ia menambahkan, ancaman terhadap Jepang mengambil bentuk berbeda—mulai dari sengketa wilayah, spionase, hingga pemaksaan ekonomi.

Di saat teknologi modern membawa kemakmuran bagi banyak negara, di Turkestan Timur teknologi yang sama digunakan untuk membangun dan mengelola kamp penahanan.

“Alat yang membawa kemajuan di Jepang telah diubah menjadi instrumen pengawasan dan penghapusan budaya bagi rakyat saya,” ujar Hoshur.

Ia juga menyinggung perubahan demografis besar-besaran di wilayah Uighur, dari hanya 4 persen etnis Han pada 1950-an menjadi lebih dari 40 persen saat ini, sebagai peringatan bagi semua negara tentang bahaya otoritarianisme tanpa batas.

Selama dua dekade terakhir, ratusan cendekiawan dan aktivis Uighur telah mengunjungi Jepang untuk menghadiri konferensi akademik, pertemuan politik, dan aksi damai.

Salah satu momen penting adalah Kongres Uighur Dunia Keempat di Tokyo pada 2012, yang memperkuat dialog dan solidaritas antara kedua bangsa.

“Melalui pertukaran ini, kami belajar banyak dari nilai-nilai demokrasi dan kejernihan moral Jepang. Dukungan dari tokoh-tokoh seperti Takaichi dan partainya memberi kami keyakinan bahwa kemanusiaan masih hidup,” ujarnya.

Hoshur juga menyinggung akar sejarah hubungan kedua pihak yang sudah terjalin sejak awal abad ke-20. Setelah kejatuhan Republik Turkestan Timur pada 1933, Jenderal Mahmut Muhiti sempat berkunjung ke Jepang untuk mencari dukungan dan menyampaikan pidato di Dai Nippon Kaikyō Kyōkai (Liga Muslim Jepang Raya).

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved