Kamis, 2 Oktober 2025

Kejagung: Kasus Rudapaksa dan Pelecehan Seksual Tak Bisa Dihentikan dengan Restorative Justice

Ketut Sumedana mengatakan dalam penerapan restorative justice oleh Kejaksaan, hal yang paling utama adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak.

Penulis: Dodi Esvandi
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dodi Esvandi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut bahwa keadilan restoratif (restorative justice) tak bisa diterapkan pada kasus rudapaksa maupun pelecehan seksual.

Artinya, penyidikan yang berkaitan dengan kasus tersebut tak bisa dihentikan dengan alasan restorative justice.

"Termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana dalam keterangannya yang diterima Tribunnews.com, Rabu (18/1/2023).

"Di samping itu, kasus pemerkosaan menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban juga berdampak luas kepada masyarakat," imbuhnya.

Ketut Sumedana mengatakan dalam penerapan keadilan restoratif (restorative justice) oleh Kejaksaan, hal yang paling utama adalah adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban/keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana.

"Penerapan restorative justice dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 antara lain (1) pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis); (2) ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun; (3) kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000; (4) dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat," katanya.

Baca juga: Fakta Kasus Rudapaksa Anak di Brebes Berakhir Damai, Dimediasi oleh LSM dan Tanpa Polisi

"Dari persyaratan tersebut, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif," imbuh Ketut Sumedana.

Ketut Sumedana mengatakan Kejaksaan Agung akan menindak jika ada praktik jual beli keadilan restoratif (restorative justice) di kalangan penegak hukum, terutama di lingkungan kejaksaan.

Ia bahkan menyebut praktik tak terpuji itu bisa dipidana.

"Jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidakprofesionalan, penyalahgunaan kewenangan dan tindakan-tindakan tercela yang dapat mencederai rasa keadilan dan mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan," kata Ketut Sumedana.

"Apabila laporan tersebut mengandung kebenaran, kami pastikan akan ditindak dan tidak segan-segan akan dipidanakan. Sebab penegakan hukum humanis yang kami tunjukkan kepada masyarakat jangan sampai disalahgunakan," kata Ketut.

Praktik jual beli restorative justice sebelumnya disinggung oleh anggota Komisi III DPR RI, Adang Daradjatun.

Hal itu disampaikannya dalam rapat bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Senin (16/1/2023).

Adang menduga adanya upaya jual menjual penyelesaian perkara lewat restorative justice.

Ia mengatakan restorative justice kini implementasinya telah bergeser.

Upaya keadilan restoratif ini memberikan kesempatan bagi orang dengan ekonomi tinggi.

"Karena apa pun juga, menarik ya, yang memberikan kesempatan bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi untuk membeli keadilan," ujar Adang Daradjatun.

"Saya minta kedalaman, ini enggak main-main ya, karena saya lihat di lapangan ini restorative justice ini sudah mulai jual-menjual," kata mantan Wakapolri itu.

Terkait apa yang disampaikan Adang Daradjatun dalam rapat dengan LPSK itu, Ketut Sumedana mengatakan penerapan restorative justice dilakukan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan hukum acara yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik.

Kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c yaitu “turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya”.

Hal itu kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 34A yaitu “untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan / atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kode etik”

"Dalam penerapan restorative justice oleh Kejaksaan, hal yang paling utama adalah adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban/keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana," kata Ketut Sumedana.

Ia menyebut restorative justice sudah memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional serta dampaknya sangat luar biasa di masyarakat yakni dapat mengurangi resistensi di masyarakat serta memberikan efek jera sebagai sanksi sosial di masyarakat, serta dapat mengurangi biaya yang tinggi dalam penegakan hukum.

"Oleh karenanya, penerapan restorative justice harus kita jaga bersama demi penegakan hukum yang lebih baik dan humanis," kata Ketut Sumedana.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved