Kamis, 28 Agustus 2025

Hasto Kristiyanto dan Kasusnya

Maqdir Ismail Tegaskan Usulannya dalam RKUHAP Bukan untuk Akomodir Hasto Kristiyanto 

Maqdir memberikan usulan agar RKUHAP memuat aturan agar tersangka yang perkaranya belum diputuskan dalam pengadilan tidak perlu ditahan. 

Tribunnews.com/Rizki Sandi
KUASA HUKUM HASTO - Pengacara Hasto Kristiyanto sekaligus Praktisi Hukum, Maqdir Ismail saat ditemui awak media di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (5/3/2025). Maqdir menyatakan, usulan dirinya dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bukan untuk akomodir Hasto Kristiyanto. 

Dirinya lantas menilai kalau hukum di Belanda itu dapat menjadi catatan dalam menerapkan aturan hukum di Indonesia. 

Terlebih kata dia, saat ini kebanyakan lembaga pemasyarakatan hingga rumah tahanan over kapasitas.

Dengan penahanan dilakukan terhadap tersangka setelah putusan pengadilan, maka hal itu bisa dianggap Maqdir, mengurangi beban di rumah tahanan.

"Kan ada beberapa orang teman mengatakan bahwa orang disusun seperti sarden. Ini menurut hemat saya ini merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi kalau ini dibiarkan," ujarnya.

"Jadi oleh karena itu, saatnya kita berpikir untuk membatasi waktu penahanan ini," sambungnya.

Atas hal itu, Maqdir dalam rapat memberikan usul agar penahanan di dalam mekanisme hukum di Indonesia dilakukan usai adanya putusan pengadilan. 

Kecuali, kata dia, bagi para tersangka yang tidak jelas background pekerjaan hingga alamat tinggalnya.

"Saya mengusulkan dan saya lebih cenderung penahanan itu boleh dilakukan sesudah ada putusan kecuali, ada kecualian misalnya terhadap orang-orang yang tidak terang alamatnya tidak jelas pekerjaannya," jelasnya.

Kata Maqdir, apabila yang ditetapkan tersangka tersebut adalah tokoh politik dan memiliki pekerjaan yang jelas serta rumahnya diketahui, maka penahanan terhadap yang bersangkutan bisa dilakukan setelah adanya putusan persidangan.

"Orang-orang yang jelas tokoh politik, rumahnya jelas, gampang melihatnya, mestinya tidak perlu kita lakukan penahanan, apalagi belum ada bukti yang sangat substansial bahwa orang ini sudah melakukan kejahatan," ujar dia.

Tak cukup di situ, Maqdir juga mengusulkan dalam penetapan tersangka termasuk kasus korupsi, seharusnya tidak hanya didasarkan oleh pernyataan saksi dan ahli. 

Menurutnya, penetapan tersangka harus juga ditetapkan bukti perbuatan yang merupakan delik inti dari pasal yang disangkakan.

"Yang paling banyak sekarang ini kalau bapak-bapak lihat perkara-perkara korupsi. Sekarang perkara korupsi itu cukup sekarang ini apakah yang dilakukan KPK atau Kejaksaan Agung cukup ada saksi dan ada ahli. Ahli ini bukan ahli keuangan negara, tapi ahli manajemen misalnya," ujarnya.

Padahal kata dia, banyak saksi terlebih saksi manajemen yang memberikan keterangan dari penyidik hanya berdasarkan dengan pengetahuan yang dimiliki.

"Ahli manajemen ini hanya ditanya apakah menurut dia kalau transaksi seperti ini akan merugikan atau tidak, manajemen ini bisa saja bilang 'ya ini kemungkinan rugi akan terjadi'," sambungnya.

Padahal, kata dia, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kerugian negara itu, harus nyata dan pasti. 

Dia menilai bukti permulaan dalam menetapkan tersangka bukan didasari secara substansial.

"Kalau orang dituduh korupsi harus ada kerugian keuangan negara nya, minimal itu ada bukti permulaannya," tandas Maqdir.

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan