Jumat, 19 September 2025

Formappi Kritik Menteri Pigai yang Usul Ada Tempat Demo di DPR: Siasat Kendalikan Massa Aksi

Menurut Lucius, usulan tersebut justru berpotensi menjadi alat untuk mengendalikan aspirasi publik, bukan untuk menjamin kebebasan berpendapat.

KOMPAS.com/Haryanti Puspa Sari
USULAN TEMPAT DEMO - Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengkritik usulan Pigai yang mendorong penyediaan ruang khusus untuk demonstrasi di dalam kompleks Gedung DPR RI. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengkritik usulan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai yang mendorong penyediaan ruang khusus untuk demonstrasi di dalam kompleks Gedung DPR RI.

Formappi adalah organisasi nirlaba yang berfokus pada pengawasan dan advokasi terhadap kinerja lembaga parlemen di Indonesia, khususnya DPR dan MPR.

Formappi didirikan pada Maret 2001 oleh sejumlah aktivis muda yang terlibat dalam gerakan reformasi 1998. 

Menurut Lucius, usulan tersebut justru berpotensi menjadi alat untuk mengendalikan aspirasi publik, bukan untuk menjamin kebebasan berpendapat.

Ia menyebut, penyediaan ruang demonstrasi di halaman DPR terkesan sebagai solusi teknis semata dan tidak menyentuh substansi dari hak warga negara dalam menyampaikan pendapat. 

Lucius menilai, fokus Menteri HAM seharusnya bukan pada infrastruktur, melainkan pada pemenuhan dan perlindungan hak konstitusional warga negara.

"Saya heran juga Menteri HAM malah fokus ke urusan tempat demonstrasi, bukan ke substansi demonstrasi sebagai ekspresi penggunaan hak kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat," kata Lucius kepada Tribunnews.com, Senin (15/9/2025).

Lucius menyoroti sikap DPR yang dinilai tidak ramah terhadap massa aksi, dengan menutup rapat gerbang gedung, memasang kawat berduri, dan menurunkan aparat dalam jumlah besar.

"Massa yang datang menggunakan haknya itu kerap tidak dihargai oleh pimpinan lembaga atau anggota lembaga parlemen. Mereka dipaksa untuk berteriak di depan gerbang dengan pintu gerbang yang ditutup rapat, dijaga aparat, dilapisi kawat berduri," ujar Lucius. 

Lucius menilai, usulan penyediaan ruang demonstrasi dapat menjadi celah bagi DPR untuk mengatur dan membatasi aksi massa sesuai kepentingannya.

Ia menyebut hal ini sebagai siasat pengendalian, bukan langkah perlindungan terhadap kebebasan berpendapat.

"Dengan disiapkan tempat, berikutnya aturan pemakaian tempat itu akan jadi sarana DPR untuk mengatur aksi sesuai keinginan mereka," ucapnya.

"Persiapan tempat itu untuk mengendalikan aksi bukan untuk menjamin kebebasan menyampaikan pendapat dari masyarakat," sambung Lucius. 

Ia menegaskan, pendekatan yang diambil Kementerian HAM dalam menyikapi aksi demonstrasi semestinya mendorong kesadaran lembaga-lembaga negara, termasuk DPR, untuk lebih terbuka terhadap aspirasi publik. 

Menurutnya, DPR seharusnya membuka diri terhadap aspirasi masyarakat, bukan malah menciptakan jarak dan ketakutan.

Sebelumnya, Natalius menyebut, lapangan untuk demonstrasi diperlukan agar massa tidak menggelar unjuk rasa di badan jalan.

"Kantor besar seperti DPR RI, halaman luas jangan sampai masyarakat demonstrasi di pinggir jalan, mengganggu kenyamanan orang. Sebaiknya dibuat lagi halaman depan, dibuatkan supaya (menampung) 1.000-2.000 orang," kata Natalius Pigai di sela meninjau Kantor Wilayah Kementerian HAM di Denpasar, Bali, Jumat (12/9/2025).

Lapangan itu disebut sebagai pusat demokrasi. Pigai berharap agar setiap pimpinan atau perwakilan lembaga tersebut harus keluar gedung untuk menerima aspirasi masyarakat.

Menurut dia, pusat demokrasi itu tak hanya berpeluang dibuka di tingkat pusat, namun bisa juga dibuka untuk pemerintah daerah, termasuk DPRD provinsi atau kabupaten/kota yang memiliki halaman luas.

Pigai pun siap membuat peraturan setingkat menteri apabila usulan itu diterima oleh kementerian/lembaga.

"Kalau kementerian buat peraturan menteri, saya mau saja. Jadi setiap unjuk rasa, siapa pun baik pemerintah, legislatif, yudikatif, atau korporasi, pihak swasta wajib menerima pengunjuk rasa tapi dibuat ruang, ada tempat pusat demokrasi," ujarnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan