Komisi II DPR Ingatkan Putusan MK Bersifat Final & Mengikat: Tak Bisa Dipilih Sesuai Agenda Politik
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin, menyinggung apapun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus dipatuhi, tanpa pengecualian.
Ringkasan Berita:
- Zulfikar Arse Sadikin menegaskan bahwa semua putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.
- Ia mencontohkan putusan-putusan kontroversial seperti Putusan MK 90/2023 dan Putusan MK 60/2024.
- Politikus Golkar itu mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin, menyinggung apapun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus dipatuhi, tanpa pengecualian.
“Namanya putusan MK itu final dan binding. Undang-Undang Dasar bilangnya final, Undang-undang MK bilangnya final dan binding,” kata Zulfikar dalam diskusi publik bertajuk 'Arah Baru: Menjawab Tantangan Demokrasi Konstitusional' yang berlangsung di Hotel Terazz Tree, Tendean, Jakarta Selatan, Sabtu (15/11/2025).
“Ya harus kita laksanakan mau suka tidak suka, mau setuju tidak setuju,” sambungnya.
Namun begitu, pihak yang seharusnya melaksanakan putusan MK kerap tebang pilih.
Menurutnya, masih terlihat pola ketika putusan MK sejalan dengan ‘agenda’ sejumlah pihak, maka akan disambut gembira.
Namun jika tidak, maka tak dijalankan.
“Jangan sampai gara-gara sesuai dengan agenda kita, putusan MK ramai-ramai kita laksanakan. Gara-gara tidak sesuai dengan agenda kita, jangan dilaksanakan. Nah, itu enggak gentle namanya,” tuturnya.
Zainal lalu menyinggung salah satu putusan, yakni Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Putusan itu mengubah syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang sebelumnya paling rendah 40 tahun, menjadi 35 tahun atau pernah menjadi kepala daerah.
Putusan kontroversi itu jadi sorotan sebab membuka jalan bagi putra Presiden ke-7 RI Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden di dalam Pilpres 2024.
“Banyak tuh putusan MK yang kita perlakukan begitu. Misalnya sekontroversial apapun putusan MK 90, karena sesuai dengan agenda kita, waduh, hajar,” ujar Zulfikar.
“Termasuk putusan MK 60 (60/PUU-XXII/2024), karena itu sesuai dengan agenda partai politik, apalagi partai politik yang di luar parlemen bisa mencalonkan kepala daerah, waduh ramai-ramai kita,” sambungnya.
Diketahui, Putusan 60 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah, memungkinkan partai tanpa kursi di DPRD untuk mencalonkan pasangan calon.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini pun mengingatkan ihwal Indonesia merupakan negara hukum.
Sehingga tidak tepat rasanya dilakukan proses tebang pilih atas putusan-putusan MK.
Baca juga: Putusan MK Pemilu Terpisah Nasional-Daerah Digugat: Berpotensi Timbulkan Perubahan Sistem Demokrasi
“Jangan begitu. Namanya sudah putusan. Ini kan bernegara, bernegara itu berpemerintahan, pemerintahan bernegara itu berkonstitusi. Kita negara hukum,” pungkasnya.
| Akademisi Nilai Keahlian Polisi Tetap Dibutuhkan untuk Jabatan Tertentu di Kementerian |
|
|---|
| Larangan Anggota Polri Duduki Jabatan Sipil Dinilai Melemahkan Efektivitas Lembaga, Termasuk BNN |
|
|---|
| Fahri Bachmid: Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 Sebagai Constitutional Guide Amandemen UU Polri |
|
|---|
| LBH Jakarta Desak Presiden Prabowo Perintahkan Kapolri Segera Tarik Polisi Aktif dari Jabatan Sipil |
|
|---|
| Akademisi Nilai MK Tak Cermat soal Putusan Polri Dilarang Duduki Jabatan Sipil |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.